August 25, 2011

BIMBINGAN BERHARI RAYA IDUL FITHRI



Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro
http://almanhaj.or.id/content/3155/slash/0



MENGAPA DINAMAKAN ‘ID?
Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang kembali dan berulang-ulang. Sesuatu yang biasa datang dan kembali dari satu tempat atau waktu.



Kemudian dinamakan ‘Id, karena Allah kembali memberikan kebaikan dengan berbuka, setelah kita berpuasa dan membayar zakat fithri. Dan dengan disempurnakannya haji, setelah diperintahkan thawaf dan menyembelih binatang kurban. Karena, biasanya pada waktu-waktu seperti ini terdapat kesenangan dan kebahagiaan.



As Suyuthi rahimahullah berkata,”’Id merupakan kekhususan umat ini. Keberadaan dua hari ‘Id, merupakan rahmat dari Allah kepada ummat ini. Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan penduduk Madinah mempunyai dua hari raya. Pada masa Jahiliyyah, mereka bermain pada dua hari raya tersebut. Beliau bersabda, ’Aku datang dan kalian mempunyai dua hari, yang kalian bermain pada masa Jahiliyah. Kemudian Allah mengganti dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr dan hari Fithri’.” [Dr. Abdullah Ath Thayyar, Ahkam Al ‘Idain Wa ‘Asyri Dzil Hijjah, hlm. 9].



HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN PADA HARI ‘ID
Ada beberapa amalan yang disunnahkan bagi kita pada hari yang berbahagia ini, diantaranya:



1. Mandi.
Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at. Namun, apabila seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat.



Nafi’ menceritakan, dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma mandi sebelum berangkat ke tanah lapang. [Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’, 1/177].



Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah berkata,”Sunnah pada hari ‘Idul Fithri ada tiga. (Yaitu): berjalan kaki menuju tanah lapang, makan sebelum keluar rumah dan mandi. [Irwa’ul Ghalil, 2/104].



2. Berhias Sebelum Berangkat Shalat ‘Id.
Disunnahkan untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak.



Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:



كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيْدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ



"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan burdah warna merah". [Ash Shahihah, 1.279].



Imam Malik rahimahullah berkata,”Saya mendengar Ahlul Ilmi, mereka menganggap sunnah memakai minyak wangi dan berhias pada hari ‘Id.” [Al Mughni, 3/258].



Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang terindah. Beliau memiliki hullah yang dikenakannya untuk dua hari raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau mengenakan dua pakaian hijau, dan terkadang mengenakan burdah (kain selimut warna merah)." [Zaadul Ma’ad, 1/426].



Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya, mereka menjauh dari kaum lelaki agar tidak menimbulkan fitnah, sebagaimana realita yang kita lihat pada zaman sekarang.



3. Makan Sebelum Shalat ‘Idul Fithri.
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:



كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. رواه البخاري



"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan beberapa kurma". [HR Al Bukhari].



Dan dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:



كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَ يَوْمَ النَّحْرِ لَا يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ
فَيَأْكُلُ مِنْ نَسِيْكَتِهِ. رواه الترمذي وابن ماجه



"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan. Dan Beliau tidak makan pada hari ‘Idul Adh-ha, sehingga Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari daging kurbannya".[HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].



Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, sebelum keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam makan beberapa kurma, dengan jumlah yang ganjil. Dan pada hari ‘Idul Adh-ha, Beliau tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang, maka Beliau makan dari daging kurbannya." [Zaadul Ma’ad, 1/426].



4. Mengambil Jalan Yang Berbeda Ketika Berangkat Dan Pulang Dari Shalat ‘Id.
Disunnahkan untuk menyelisihi jalan, yaitu dengan mengambil satu jalan ketika berangkat menuju shalat ‘Id, dan melewati jalan yang lain ketika pulang dari tanah lapang.



Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:



كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ. رواه البخاري



"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika hari ‘Id, Beliau mengambil jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang". [HR Al Bukhari di dalam Bab Al ‘Idain]



Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki, dan beliau menyelisihi jalan; (yaitu) berangkat lewat satu jalan dan kembali lewat jalan yang lain". [Zaadul Ma’ad, 1/432].



Hukum mengambil jalan yang berbeda ini hanya khusus pada dua hari ‘Id. Tidak disunnahkan untuk amalan lainnya, seperti shalat Jum’ah, sebagaimana disebutkan Ibnu Dhuwaiyan di dalam kitab Manarus Sabil 1/151. Atau dalam masalah amal shalih yang lain, Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitab Riyadhush Shalihin, bab disunnahkannya pergi ke shalat ‘Id, menjenguk orang sakit, pergi haji, perang, mengiringi jenazah dan yang lainnya dengan mengambil jalan yang berbeda, supaya memperbanyak tempat-tempat ibadahnya.



Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal seperti ini tidak bisa diqiaskan. Terlebih lagi amalan-amalan tersebut ada pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak pernah dinukil bahwa Beliau mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ‘Id. Kita mempunyai satu kaidah yang penting bagi thalibul ilmi, segala sesuatu yang ada sebabnya pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau tidak mengerjakannya, maka amalan tersebut tertolak”. Hingga Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Maka yang benar, ialah pendapat yang mengatakan, mengambil jalan yang berbeda, khusus pada dua shalat ‘Id saja, sebagaimana yang zhahir dari perkataan muallif -Al Hajjawi di dalam Zaadul Mustaqni’- karena ia tidak menyebutkan pada hari Jum’at, tetapi hanya menyebutkan pada dua hari ‘Id. Hal ini menunjukkan, bahwa dia memilih pendapat tidak disunnahkannya mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ’Id”. [Asy Syarhul Mumti’, 5/173-175].



5. Bertakbir.
Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ البقرة- 185



"Dan supaya kalian sempurnakan hitungan Ramadhan dan bertakbirlah karena yang telah dikaruniakan Allah kepada kalian, semoga kalian bersyukur". [Al Baqarah:185].



Waktu bertakbir dimulai setelah terlihatnya hilal bulan Syawwal, hal ini jika memungkinkan. Dan jika tidak mungkin, maka dengan datangnya berita, atau ketika terbenamnya matahari pada tanggal 30 Ramadhan. Kemudian, takbir ini hingga imam selesai dari khutbah ‘Id. Demikian menurut pendapat yang benar, diantara pendapat Ahlul Ilmi. Akan tetapi, kita tidak bertakbir ketika mendengarkan khutbah, kecuali jika mengikuti takbirnya imam. Dan ditekankan untuk bertakbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang, atau ketika menunggu imam datang. [Ahkamul ‘Idain, 24].



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Takbir pada hari Idul Fithri dimulai ketika terlihatnya hilal, dan berakhir dengan selesainya ‘Id. Yaitu ketika imam selesai dari khutbah, (demikian) menurut pendapat yang benar". [Majmu’ Fatawa, 24/220, 221].



Adapun sifat (shighat) takbir, dalam hal ini terdapat keluasan. Telah datang satu riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertakbir pada hari hari tasyriq dengan genap (dua kali) mengucapkan lafadz Allahu Akbar. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih, akan tetapi disebutkan di lafadz yang lain dengan tiga kali.



اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, وَللهِ الْحَمْدُ



Tidak selayaknya bertakbir secara jama’i, yaitu berkumpul sekelompok orang untuk melafadzkan dengan satu suara, atau satu orang memberi komando kemudian diikuti sekelompok orang tersebut. Karena, amalan seperti ini tidak pernah dinukil dari Salaf. Yang sunnah, setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. Seperti ini pula pada setiap dzikir, atau ketika memanjatkan do’a-do’a yang masyru’ pada setiap waktu. [Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 30].



Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: "Patut untuk diberi peringatan pada saat sekarang ini, bahwa mengeraskan suara ketika bertakbir tidak disyari’atkan secara berjama’ah dengan satu suara, sebagaimana yang dikerjakan oleh sebagian orang. Demikian pula pada setiap dzikir yang dibaca dengan keras atau tidak, maka tidak disyari’atkan untuk berjama’i. Hendaknya kita waspada terhadap masalah ini" [Silsilah Al Ahadits Shahihah, 1/121].



HUKUM SHALAT ID
Hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang untuk mengerjakannya. Dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:



أَمَرَنَا -تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ. متفق عليه



"Nabi memerintahkan kepada kami (kaum wanita) untuk keluar mengajak ‘awatiq (wanita berusia muda) dan gadis yang dipingit. Dan Beliau memerintahkan wanita haid untuk menjauhi mushalla (tempat shalat) kaum muslimin". [Muttafaqun ‘alaih].



Dahulu, Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa menjaga untuk mengerjakan shalat ‘Id. Ini merupakan dalil wajibnya shalat ‘Id. Dan karena shalat ‘Id menggugurkan kewajiban shalat Jum’at, jika ‘Id jatuh pada hari Jum’at. Sesuatu yang bukan wajib, tidak mungkin akan menggugurkan satu kewajiban yang lain. Lihat At Ta’liqat Ar Radhiyah, Syaikh Al Albani, 1/380.



Pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, merupakan madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Begitu pula pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dia mengatakan di dalam Majmu’Fatawa (23/161), sebagai berikut: “Oleh karena itu, kami merajihkan bahwa hukum shalat ‘Id adalah wajib ‘ain. Adapun pendapat yang mengatakan tidak wajib, adalah perkataan yang sangat jauh dari kebenaran, karena shalat ‘Id termasuk syi’ar Islam yang terbesar. Kaum muslimin yang berkumpul pada hari ini, lebih banyak daripada hari Jum’at. Demikian pula disyari’atkan pada hari itu untuk bertakbir. Adapun pendapat yang mengatakan hukumnya fardhu kifayah, tidak tepat”.



WAKTU SHALAT ‘IDUL FITHRI
Sebagian besar Ahlul Ilmi berpendapat, bahwa waktu shalat ‘Id adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari. Yakni waktu Dhuha.



Juga disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan menunaikan zakat fithri.



Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri dan menyegerakan shalat ‘idul Adh-ha. Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, seorang sahabat yang sangat berpegang kepada Sunnah. Dia tidak keluar hingga terbit matahari”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].



TEMPAT MENDIRIKAN SHALAT ‘ID
Disunnahkan mengerjakan shalat ‘Id di mushalla. Yaitu tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali jika ada udzur. Misalnya, seperti: hujan, angin yang kencang dan lainnya, maka boleh dikerjakan di masjid.



Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Mengerjakan shalat ‘Id di tanah lapang adalah sunnah, karena dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya. Demikian pula khulafaur rasyidin. Dan ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Mereka telah sepakat di setiap zaman dan tempat untuk keluar ke tanah lapang ketika shalat ‘Id”. [Al Mughni, 3/260].



TIDAK ADA ADZAN DAN IQAMAH SEBELUM SHALAT ‘ID
Dari Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhuma, keduanya berkata:



لَمْ يَكُنْ يُؤَذِّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ الأَضْحَى.رواه البخاري ومسلم



"Tidak pernah adzan pada hari ‘Idul Fithri dan hari ‘Idul Adh-ha". [HR Al Bukhari dan Muslim]



Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:



صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ. رواه مسلم



"Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada dua hari raya, sekali atau dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqamat". [HR Muslim].



Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tanah lapang, Beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat ataupun ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan yang sunnah, untuk tidak dikerjakan semua itu”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].



SHIFAT SHALAT ‘ID
Shalat ‘Id, dikerjakan dua raka’at, bertakbir di dalam dua raka’at tersebut 12 kali takbir, 7 pada raka’at yang pertama setelah takbiratul ihram dan sebelum qira’ah, dan 5 takbir pada raka’at yang kedua sebelum qira’ah.



عن عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ. رواه ابن ماجه



"Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada dua shalat ‘Id tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at yang kedua". [HR Ibnu Majah].



عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ. رواه أبو داود و ابن ماجه



"Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fithri dan shalat ‘Idul Adh-ha tujuh kali dan lima kali, selain dua takbir ruku". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil, 639].



Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Beliau memulai shalat ‘Id sebelum berkhutbah. Beliau shalat dua raka’at. Bertakbir pada raka’at yang pertama, tujuh kali takbir yang beruntun setelah takbir iftitah. Beliau diam sejenak antara dua takbir. Tidak diketahui dzikir tertentu antara takbir-takbir ini. Akan tetapi (ada) disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu memuji Allah, menyanjungNya dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (diantara dua takbir tersebut), sebagaimana disebutkan oleh Al Khallal. Dan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma merupakan seorang sahabat yang sangat tamassuk (berpegang teguh) dengan Sunnah. Beliau mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir. Dan setelah menyempurnakan takbirnya, Nabi memulai qira’ah. Beliau membaca Al Fatihah, kemudian membaca surat Qaaf pada salah satu raka’at. Pada raka’at yang lain, membaca surat Al Qamar. Terkadang membaca surat Al A’laa dan surat Al Ghasyiyah. Telah sah dari Beliau dua hal ini, dan tidak sah riwayat yang menyatakan selainnya.



Ketika selesai membaca, Beliau bertakbir dan ruku’. Kemudian, apabila telah menyempurnakan raka’at yang pertama, Beliau bangkit dari sujud dan bertakbir lima kali secara beruntun. Setelah itu Beliau membaca. Maka takbir merupakan pembuka di dalam dua raka’at, kemudian membaca, dan setelah itu ruku’”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].



APAKAH ADA SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH ‘ID?
Tidak disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah ‘Id. Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:



أَنَّ النَّبِيَّ صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا. رواه البخاري



"Sesungguhnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at, tidak shalat sebelumnya atau sesudahnya" [HR Al Bukhari].



Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sama sekali tidak ada satu shalat sunnah saat sebelum atau sesudah ‘Id”. Kemudian dia ditanya: “Bagaimana dengan orang yang ingin shalat pada waktu itu?” Dia menjawab: “Saya khawatir akan diikuti oleh orang yang melihatnya. Ya’ni jangan shalat”. [Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/283].



Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Kesimpulannya, pada shalat ‘Id tidak ada shalat sunnah sebelum atau sesudahnya, berbeda dari orang yang mengqiyaskan dengan shalat Jum’ah. Namun, shalat sunnah muthlaqah tidak ada dalil khusus yang melarangnya, kecuali jika dikerjakan pada waktu yang makruh seperti pada hari yang lain". [Fath-hul Bari, 2/476].



Apabila shalat ‘Id dikerjakan di masjid karena adanya udzur, maka diperintahkan shalat dua raka’at tahiyyatul masjid. Wallahu a’lam.



APABILA SESEORANG TERTINGGAL DARI SHALAT ‘ID, APAKAH PERLU MENGQADHA?
Dalam masalah ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan di dalam Asy Syarhul Mumti’ 5/208: "Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat tidak diqadha. Orang yang tertinggal atau luput dari shalat ‘Id, tidak disunnahkan untuk mengqadha’nya, karena hal ini tidak pernah ada dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan karena shalat ‘Id merupakan shalat yang dikerjakan dengan berkumpul secara khusus. Oleh sebab itu tidak disyari’atkan, kecuali dengan cara seperti itu".



Kemudian beliau Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: "Shalat Jum’at juga tidak diqadha. Tetapi, bagi orang yang tertinggal, (ia) mengganti shalat Jum’at dengan shalat fardhu pada waktu itu. Yaitu Dhuhur. Pada shalat ‘Id, apabila tertinggal dari jama’ah, maka tidak diqadha, karena pada waktu itu tidak terdapat shalat fardhu ataupun shalat sunnah".



KHUTBAH ‘IDUL FITHRI
Dalam Shahihain dan yang lainnya disebutkan:



كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ .رواه البخاري و مسلم



"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Pertama kali yang Beliau kerjakan ialah shalat, kemudian berpaling dan berdiri menghadap sahabat, dan mereka tetap duduk di barisan mereka. Kemudian Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan mereka". [HR Al Bukhari dan Muslim].



Dalam masalah khutbah ‘Id ini, seseorang tidak wajib mendengarkannya. Dibolehkan untuk meninggalkan tanah lapang seusai shalat. Tidak sebagaimana khutbah Jum’ah, yang wajib bagi kita untuk menghadirinya.



Di dalam hadits Abdullah bin As Sa’id Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:



شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ



"Saya menyaksikan shalat ‘Id bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai, Beliau berkata: “Kami sekarang berkhutbah. Barangsiapa yang mau mendengarkan, silahkan duduk. Dan barangsiapa yang mau, silahkan pergi". [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil 3/96]



Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan shalat, Beliau berpaling dan berdiri di hadapan para sahabat, sedangkan mereka duduk di barisan mereka. Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan dan melarang mereka. Beliau membuka khuthbah-khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak pernah diriwayatkan -dalam satu haditspun- bahwasanya Beliau membuka dua khutbah pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dengan bertakbir. Dan diberikan rukhshah bagi orang yang menghadiri ‘Id untuk mendengarkan khutbah atau pergi". [Zaadul Ma’ad, 1/429].



APABILA HARI ‘ID BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT
Apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat Jum’at bagi orang yang telah menghadiri ‘Id menjadi gugur. Tetapi bagi penguasa, sebaiknya memerintahkan agar didirikan shalat Jum’at, supaya dihadiri oleh orang yang tidak menyaksikan ‘Id atau bagi yang ingin menghadiri Jum’at dari kalangan orang-orang yang telah shalat ‘Id. Dan sebagai pengganti Jum’at bagi orang yang tidak shalat Jum’at, adalah shalat Dhuhur. Tetapi yang lebih baik, ialah menghadiri keduanya. [Lihat Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 18; Majalis ‘Asyri Dzil Hijjah, Syaikh Abdullah Al Fauzan, hlm. 107].



Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau berkata:



قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. رواه أبو داود و ابن ماجه



"Telah berkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau, maka shalat ‘Id telah mencukupi dari Jum’at. Akan tetapi, kami mengerjakan shalat Jum’at". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah]



MENGUCAPKAN SELAMAT PADA HARI ‘ID
Syaikhul Islam ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari ‘Id. Beliau menjawab:



“Mengucapkan selamat pada hari ‘Id; apabila seseorang bertemu saudaranya, kemudian dia berkata تقبل الله منا ومنكم (semoga Allah menerima amal kebaikan dari kami dan dari kalian), atau أعاده الله عليك (semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda), atau semisalnya, dalam hal seperti ini telah diriwayatkan dari sekelompok diantara para sahabat, bahwa mereka dahulu mengerjakannya. Dan diperperbolehkan oleh Imam Ahmad dan selainnya. Imam Ahmad berkata,’Saya tidak memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘Id. Namun, jika seseorang menyampaikan ucapan selamat kepadaku, aku akan menjawanya, karena menjawab tahiyyah hukumnya wajib. Adapun memulai ucapan selamat ‘Id bukan merupakan sunnah yang diperintahkan, dan tidak termasuk sesuatu yang dilarang. Barangsiapa yang mengerjakannya, maka ada contohnya. Dan bagi orang yang tidak mengerjakannya, ada contohnya juga". [Majmu’ Fatawa, 24/253, lihat juga Al Mughni, 3/294].



Wallahu a’lamu bish shawab.



Diselesaikan pada 15 Rajab 1425, bertepatan 30 Agustus 2004.



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]

MUDIK LEBARAN, DAN TRADISI YANG KELIRU

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin
http://almanhaj.or.id/content/2830/slash/0

Wahai, manusia. Hiasilah hubungan dengan kerabatmu untuk mencari ridha Allah. Dengan bersilaturahmi, keberkahan umur dan rizki akan diraih dan derajat mulia akan tercapai di sisi Allah. Ketauhilah, silaturahmi dengan sanak kerabat dan famili merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah.

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah melakukan silaturrahmi".[1]

Silaturrahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik terhadap orang-orang yang telah berbuat baik terhadap kita. Namun, silaturrahmi yang sebenarnya ialah menyambung hubungan dengan orang-orang yang telah memutuskan tali silaturahmi dengan kita.

Dari Abdullah bin Amr dari Nabi bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلَ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

"Sesungguhnya bukanlah orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang membalas kebaikan, namun orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang menyambung hubungan dengan orang yang telah memutuskan silaturahmi". [2]

TRADISI MUDIK LEBARAN DALAM TINJUAN ISLAM
Sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita mengira, bahwa mudik lebaran ada kaitannya dengan ajaran Islam, karena terkait dengan ibadah bulan Ramadhan. Sehingga banyak yang lebih antusias menyambut mudik lebaran daripada mengejar pahala puasa dan lailatul qadr. Dengan berbagai macam persiapan, baik tenaga, finansial, kendaraan, pakaian dan oleh-oleh perkotaan. Ditambah lagi dengan gengsi bercampur pamer, mewarnai gaya mudik. Kadang dengan terpaksa harus menguras kocek secara berlebihan, bahkan sampai harus berhutang. Pada hari lebaran, lembaga pegadaian menjadi sebuah tempat yang paling ramai dipadati pengunjung yang ingin berhutang.

Padahal yang benar mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam karena tidak ada satu perintahpun baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus melakukan acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan maaf-maafan, karena silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan kondisi.

Apabila yang dimaksud mudik lebaran sebagai bentuk kegiatan untuk memanfaatkan momentum dan kesempatan untuk menjernihkan suasana keruh dan hubungan yang retak sementara tidak ada kesempatan yang baik kecuali hanya waktu lebaran maka demikian itu boleh-boleh saja namun bila sudah menjadi suatu yang lazim dan dipaksakan serta diyakini sebagai bentuk kebiasaan yang memiliki kaitan dengan ajaran Islam atau disebut dengan istilah tradisi Islami maka demikian itu bisa menjadi bidah dan menciptakan tradisi yang batil dalam ajaran Islam. Sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syareat merupakan perkara bidah dan tertolak sebagaimana sabda Nabi:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah) karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat". [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah].

SILATURAHMI YANG SESUAI DENGAN SUNNAH
Makna silaturahmi secara bahasa adalah dari lafadz rahmah yang berarti lembut dan kasih sayang.

Abu Ishak berkata: "Dikatakan paling dekat rahimnya adalah orang yang paling dekat kasih sayangnya dan paling dekat hubungan kekerabatannya". [3

Imam Al Allamah Ar Raghib Al Asfahani berkata bahwa Ar Rahim berasal dari rahmah yang berarti lembut yang memberi konsekwensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.[4]

Oleh sebab itu salaturrahmi merupakan bentuk hubungan dekat antara bapak dan anaknya atau seseorang dengan kerabatnya dengan kasih saying yang dekat, sebagaimana firman Allah: "Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim". [an Nisa’:1]

Silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua dan sanak kerabat merupakan urusan yang sangat penting, kewajiban yang sangat agung, dan amal salih yang memiliki kedudukan mulia dalam agama Islam serta merupakan aktifitas ibadah yang sangat mulia dan berpahala besar sehingga banyak sekali nash baik dari Al-Qur’an dan Sunnah yang memberi motivasi untuk silaturahmi dan mengancam bagi siapa saja yang memutuskannya dengan ancaman berat.

Allah berfirman : "(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi". [al Baqarah : 27]

Ayat di atas terdapat anjuran agar setiap muslim melakukan silaturrahmi dengan kerabat dan sanak famili.

Abu Ja’far Ibnu Jarir At Thabary berkata: "Pada ayat di atas Allah menganjurkan agar menyambung hubungan dengan sanak kerabat dan orang yang mempunyai hubungan rahim dan tidak memutuskannya".[5]

Oleh sebab itu, hendaknya setiap muslim hendaknya melakukan silaturrahmi dengan sanak kerabat baik dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan baik sekandung maupun hanya saudara sebapak atau seibu, atau sepersusuan, semuanya hendaklah saling menyayangi, menghormati dan menyambung hubungan hubungan kerabat baik pada saat berdekatan maupun berjauhan.

Dari Aisyah bahwa Nabi bersabda:

الرَّحِمُ شَجْنَةٌ مِنَ اللهِ مَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللهُ

"Rahim adalah syajnah (bagian dari limpahan rahmat) [6] dari Allah, barangsiapa yang menyambungnya maka Allah akan menyambungnya dan barangsiapa yang memutuskannya maka Allah akan memutuskannya". [7]

Hubungan persaudaraan khususnya antara saudara laki-laki dan saudara perempuan memiliki sentuhan yang sangat unik yaitu sentuhan batin yang sangat lembut serta kesetiaan yang sangat dalam dan semakin hari semakin bertambah subur walaupun berjauhan jarak tempatnya.

Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ الرَّحِمُ قَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَذَاكِ لَكِ

"Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk dan setelah usai darinya maka rahim berdiri lalu berkata: Ini adalah tempat orang berlindung dari pemutusan silaturramhi. Maka Allah berfirman: Ya. Bukankah kamu merasa senang Aku akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambungmu dan memutuskan hubungan dengan orang memutuskan denganmu? Ia menjawab: Ya. Allah berfirman: Demikian itu menjadi hakmu".[8]

Barangsiapa yang memutuskan hubungan silaturrahmi tanpa alasan syar’i maka berhak mendapatkan sanksi berat dan kutukan dari Allah serta diancam tidak masuk surga.

Allah berfirman: "Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi. Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)". [ar-Ra’d : 25].

Dari Jubair bin Muth’im bahwa Nabi Muhammad bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

"Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kerabat.".[9]

KESALAHAN-KESALAHAN PADA SAAT LEBARAN
Hari raya adalah salah satu syiar kemuliaan kaum muslimin. Pada hari itu mereka berkumpul jiwa-jiwa menjadi bersih dan persatuan terbentuk serta pengaruh kejelekan dan kesengsaraan hilang, sehingga tidak tampak pada waktu itu kecuali kebahagiaan. Namun hal ini sering terjadi kekeliruan-kekeliruan dalam merayakannya. Diantaranya.

1. Meniru orang kafir dalam berpakaian. Kita mulai melihat sebagai fenomena aneh pada masyarakat kita khususnya pada hari raya. Mereka mengenakan pakaian yang aneh-aneh ala orang kafir. Seorang muslim dan muslimah seharusnya memiliki semangat untuk menjaga agama, kehormatan dan fitrahnya. Jangan tergoda untuk ikut-ikutan mereka meniru-niru kebiasaan orang-orang yang tidak menjaga kehormatan.

2. Sebagian orang menjadikan hari raya sebagai syiar melaksanakan kemaksiatan, sehingga secara terang-terangan ia melakukan perbuatan yang diharamkan. Misalnya dengan mendengarkan musik dan memakan makanan yang diharamkan Allah.

3. Dalam berziarah (kunjungan) tidak memperhatikan etika islami. Contohnya bercampurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, saling berjabat tangan antara laki-laki yang bukan mahram

4. Berlebih-lebihan dalam membuat makanan dan minuman yang tidak berfaedah, sehingga banyak yang terbuang, padahal kaum muslimin yang membutuhkan.

5. Hari Raya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk menyatukan hati kaum muslimin, baik yang ada hubungan kerabat atau tidak. Juga kesempatan untuk mensucikan jiwa dan menyatukan hati, namun pada kenyataannya, penyakit hati masih tetap saja bercokol.

6. Menganggap bahwa silaturahmi hanya dikerjakan pada saat hari raya saja.

7. Menganggap bahwa pada hari raya sebagai saat yang tepat untuk ziarah kubur.

8. Saling berkunjung untuk saling maaf-memaafkan diantara para kerabat dan sanak famili dengan keyakinan saat itulah yang paling afdhal.[10]

SILATURAHMI YANG PALING UTAMA ADALAH BIRRUL WALIDAIN
Allah mewajibkan seorang anak untuk taat, berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuannya. Bahkan Allah menghubungkan perintah beribadah kepadaNya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana firman Allah:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا {23}

"Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia". [al Isra` : 23]

Birrul walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat hidup atau setelah wafat. Orang tua merupakan kerabat terdekat, yang banyak mempunyai jasa dan kasih sayang yang besar sepanjang masa, sehingga tidak aneh kalau hak-haknya juga besar. Allah berfirman :

وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu". [Luqman : 14 ].

KEUTAMAAN BIRUL WALIDAIN
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak disebutkan secara berulang-ulang, agar seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Kebaikan dan pengorbanan orang tua tidak terhitung jumlahnya, baik berupa jiwa raga dan kekuatan, tidak berkeluh kesah dan tidak meminta balasan dari anaknya.

Adapun anak, ia harus selalu diberi wasiat dan diingatkan agar senantiasa mengingat terhadap jasa orang tua, yang selama ini telah mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya untuk membesarkan dan mendidiknya.

Seorang ibu, selama mengandung mengalami banyak beban berat. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Ibu lebih banyak menderita dalam membesarkan dan mengasuh anaknya. Penderitaan ketika hamil, tidak ada yang bisa merasakan payahnya, kecuali kaum ibu juga.

Imam Bukhari di dalam Adabul Mufrad, dari Abu Burdah, bahwa ia menyaksikan Ibnu Umar dan ada seorang laki-laki dari Yaman sedang melakukan thawaf -sambil menggendong ibunya di belakang punggungnya-, ia berkata: ‘Sesungguhnya saya menjadi tunggangannya yang tunduk, jikalau tunggangan lain terkadang susah dikendalikan, aku tidaklah demikian’. Lalu ia bertanya kepada Ibnu ‘Umar: 'Wahai Ibnu Umar, apakah dengan ini saya sudah membayar jasanya?. Beliau menjawab:"Sama sekali belum, walaupun satu kali sengalan nafasnya (saat melahirkanmu)" [11]

Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثم يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثم يُوْصِيْكُمْ بِآبَائِكُمْ ثُمَّ يُوْصِيْكُمْ بِاْلأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ

"Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, lalu Allah berwasiat agar berbuat baik kepada ibu-ibumu, kemudian Allah berwasiat kepada bapak-bapakmu, dan kemudian Allah berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu".[12]

Begitulah, anak adalah bagian hidup dan belahan hati orang tua. Kasih sayangnya mengalir di dalam darah daging keduanya. Seorang anak selalu merepotkan dan menyita perhatian kedua orang tuanya. Tatkala kedua orang tua tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya, akan tetapi betapa cepatnya seorang anak melalaikan semua jasa orang tuanya, dan hanya sibuk mengurus isteri dan ana-anaknya. Padahal berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan keputusan mutlak dari Allah, dan merupakan ibadah yang menempati urutan ke dua setelah ibadah kepada Allah.

Mari kita segera mulai dengan berbuat baik, menghormati dan memuliakan mereka berdua. Karena birrul walidain memiliki keutamaan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Lihat sahih Abu Daud (1486), sahih Adabul Mufrad (56) Sahih Muslim bab Al Birru Wassilah hadits ke 20.
[2]. Lihat SahihAdabul Mufrad (68) bab laisal wasil bil mukafi’
[3]. Lihat Lisanul Arab (5/174) bab Dzal wa Ra’.
[4]. Lihat Mufradatul Qur;an Hal (346)
[5]. Lihat Tafsir Ath Thabary juz 1/144. dan tafsir Ibnu Katsir Juz 1/ 83
[6]. Lihat Syarah Adabul Mufrad karya Husain Ibnu Uwadah Al Awayasyah. Juz 1/72.
[7]. Lihat Silsilah hadits sahihah no (925) , Adabul Mufrad no (55) dan sahih Musdlim bab Al Birru wa Silah hadits ke 17.
[8]. HR Imam Bukhari dalam sahihnya dalam kitabut tafsir (4830) dan Imam Muslim dalam kitabul Birri (6465).
[9]. HR Imam Bukhari dalam sahihnya dalam kitabul Adad bab Istmul Qathi’ (5984), Muslim dalam sahihnya kitabul birry bab Silaturrahim (6467) dan Abu Daud Dalam sunannya (1696).
[10]. Lihat Ahkamul Idain wa Asyr Dzulhijjah karya DR. Abdullah bin Muhammad Ath Thayyar
[11]. Adabul Mufrad, hadits no. 11, Bab Jazaul Walidain. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[12]. Shahih Adabul Mufrad, 60; Sunan Ibnu Majah, 23, Kitabul Adab dan Shilisilah Hadits Shahihah, 1666.

August 11, 2011

TUNTUNAN ZAKAT FITHRI

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
http://almanhaj.or.id/content/3147/slash/0

Islam adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla
untuk manusia. Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya
bagi umat ini setiap tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua
rukun Islam yang besar. ‘Idul Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul
Fithri mengiringi ibadah puasa Ramadhan.

Karena di dalam melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering
melakukan perkara yang dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan
hikmahNya, Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih
menyempurnakan puasanya. Oleh karena itulah, sangat penting bagi kita
untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Semoga
pembahasan ringkas ini dapat menjadi sumbangan bagi kaum muslimin
dalam menjalankan ibadah ini.

MAKNA ZAKAT FITHRI
Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat
fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah
yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa
Ramadhan.[1]

HIKMAH ZAKAT FITHRI
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah
zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

"Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang
berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan
bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat
(‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa
menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari
shadaqah-shadaqah".[2]

HUKUM ZAKAT FITHRI
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian ulama beranggapan,
kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil yang mereka gunakan
tidak shahih dan sharih (jelas).[3]

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang
kewajiban zakat fithri ini. Beliau t berkata,"Telah bersepakat semua
ahli ilmu yang kami menghafal darinya bahwa shadaqah fithri wajib [4].
Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan bahwa zakat fithri hukumnya
wajib, tidak mansukh.

SIAPA YANG WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI?
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya atau miskin, yang mampu
menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua: (1) Islam dan
(2) Mampu.

Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak,
laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah
diwajibkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua
dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri
itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)" [5].

Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa
Jalla berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya".[al Baqarah/2:286].

Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan
Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi
dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu
malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki
kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ
فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّارِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي
مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ- فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا يُغْنِيهِ -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمَا
الْغِنَى الَّذِي لَا تَنْبَغِي مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ- قَالَ: ((قَدْرُ
مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ
آخَرَ أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ
وَيَوْمٍ-

"Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka
sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan
di tempat yang lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para
sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an
Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan
itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang
mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di
tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari
dan semalam” atau “semalam dan sehari". [HR Abu Dawud, no. 1629.
dishahihkan oleh Syaikh al Albani].[6]

Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran kemampuan itu ialah, memiliki
nishab zakat uang atau senilai dengannya dan lebih dari kebutuhan
tempat tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :

لاَصَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى

"Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan".[7]

Tetapi pendapat ini lemah, karena:
1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada
zakat maal.
2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta,
seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi
ukuran.
3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil, karena kita
berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib mengeluarkan
zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah
dijelaskan. Wallahu a’lam.[8]

BAGAIMANA DENGAN JANIN?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga
wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?

Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al
Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri
atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin,
menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak
kecil”.[9]

Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad
bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang
merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang
tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai
mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut
ibunya”.[10]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Yang
nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fithri
bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah
ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah
empat bulan”.

Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fithri bagi
janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau
mengeluarkan zakat fithri bagi janin [11]. Jika tidak, maka tentang
hal ini tidak ada Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari
Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah
mereka”.[12]

Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan bagi orang tua untuk
membayar zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat bulan dalam
kandungan, wallahu a’lam.

SUAMI MEMBAYAR ZAKAT FITHRI DARI DIRINYA DAN ORANG-ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA
Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang wajib membayar zakat
fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga wajib
membayar zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung
seluruh anggota keluarganya?[13]

Pendapat Pertama.
Suami wajib membayar zakat fithri bagi dirinya dan orang-orang yang
dia tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan dalil,
bahwa suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka dia
juga membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَمَرَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ عَنِ
الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ مِمَّنْ تُمَوِّنُوْنَ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari
anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang
yang kamu tanggung”. [Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no.
835].[14]

Pendapat Kedua.
Sebagian ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Ibnul Mundzir, Ibnu
Hazm, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat, seorang
isteri membayar zakat fithri sendiri, dengan dalil:

1. Hadits Ibnu Umar :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua
dari kalangan umat Islam”. [HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].

Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan kewajiban tiap-tiap
orang pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan “wanita”, sehingga
dia wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah bersuami
ataupun belum bersuami.

Tetapi pendapat ini dibantah : Bahwa disebutkan “wanita”, tidak
berarti dia wajib membayar zakat fithrah bagi dirinya. Karena di dalam
hadits itu, juga disebutkan budak dan anak kecil. Dalam masalah ini
sudah dimaklumi, jika keduanya ditanggung oleh tuannya dan orang
tuanya. Demikian juga para sahabat membayar zakat fithri untuk janin
di dalam perut ibunya. Apalagi sudah ada hadits yang menjelaskan,
bahwa suami membayar zakat fithri bagi orang-orang yang dia tanggung.

2. Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak
ditanggung orang lain. Allah berfirman:

"Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". [al An’aam/6 : 164].

Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri seseorang dan orang-orang
yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban (berdosa) akan
memikul beban (dosa) orang lain.

Tetapi pendapat ini dibantah : Ini seperti seorang suami yang
menanggung nafkah orang-orang yang dia tanggung. Dan setelah hadits
yang memberitakan hal itu sah, maka wajib diterima, tidak boleh
dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau yang lainnya. Dari
keterangan ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih kuat. Wallahu
a’lam.

BENTUKNYA
Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah keumuman makanan pokok di
daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak terbatas pada jenis
makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang
paling benar dari para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Beliau rahimahullah ditanya tentang zakat fithri : “Apakah dikeluarkan
dalam bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis gandum), sya’ir
(sejenis gandum), atau tepung?”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Al-Hamdulillah.
Jika penduduk suatu kota menggunakan salah satu dari jenis ini sebagai
makanan pokok, maka tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat
fithri dari (jenis) makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka
mengeluarkan makanan pokok dari selain itu? Seperti jika makanan pokok
mereka padi dan dukhn (sejenis gandum), apakah mereka wajib
mengeluarkan hinthah (sejenis gandum) atau sya’ir (sejenis gandum),
ataukah cukup bagi mereka (mengeluarkan) padi, dukhn, atau semacamnya?
(Dalam permasalahan ini), telah masyhur dikenal terjadinya
perselisihan, dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad :

Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan
jenis) yang disebutkan di dalam hadits.

Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari
jenis-jenis ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama –seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah
yang lebih benar dari pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal,
dalam semua shadaqah adalah, diwajibkan untuk menolong orang-orang
miskin, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5 ayat 89-".[15]

UKURANNYA
Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah satu sha’ kurma kering, atau
anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok yang
menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا
نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ
طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ

"Dari Abu Sa’id Radhiyalahu 'anhu, dia berkata : “Kami dahulu di zaman
Rasulullah n pada hari fithri mengeluarkan satu sha’ makanan”. Abu
Sa’id berkata,"Makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering, keju,
dan kurma kering.” [HR Bukhari, no. 1510.

Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah [16], apakah satu sha’
seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan pendapat yang benar adalah
yang kedua, yaitu setengah sha'.

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ ثَعْلَبَةَ بْنُ صُعَيْرٍ الْعُذْرِيُّ خَطَبَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ
الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ
بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ

"Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari
sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkhutbah kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’
burr atau qumh (gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu
sha’ kurma kering, atau satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas
setiap satu orang merdeka, budak, anak kecil, dan orang tua "[17].

Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk Madinah zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud
adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat,
maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk
menakar ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat
dengan perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai
masalah ini, sebagai berikut:

1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih Sunnah, 2/83).
2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam, 3/74).
3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus. (Syarhul Mumti’, 6/176).

Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,"Para ulama telah mencoba
dengan gandum yang bagus. Mereka telah melakukan penelitian secara
sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu sha’ mencapai 2 kg 40 gr
gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda
ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan
menambah timbangannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh)
menyedikitkan”. [Syarhul Mumti’, 6/176-177].

Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al ’Utsaimin ini
selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita
-umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan
beras sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.

TIDAK BOLEH DIGANTI DENGAN JENIS LAINNYA
Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam wujud makanan pokok
ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena itu, tidak
boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun
dengan uang!

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan ahli fiqih tidak
membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah
membolehkannya”. [Syarah Muslim].

Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat Abu Hanifah
rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu
lupa” - Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu
telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah
berhenti pada zhahir nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan
dengan makna lainnya”. [al Wajiiz, 230-231].[18]

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Zakat fithri wajib
dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak
menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena,
tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan
walaupun dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [19].

WAKTU MENGELUARKAN
Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:
1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan,
atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat
fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar
zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya
adalah, tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun
Hanafiyah berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar 'Idul
Fithri.[20]

2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat
fithri, yaitu fajar hari 'Id, dengan kesepakatan empat madzhab.[21]

3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi
membayar zakat fithri. Tentang waktu terakhirnya, para ulama
bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id,
dianggap tidak berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadits :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk
menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan
keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa
menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang
diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu
adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609;
Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].

Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat
beberapa pendapat : [22]
- Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : "Boleh maju setahun atau dua tahun".
- Malik rahimahullah berpendapat : "Tidak boleh maju".
- Syafi’iyah berpendapat : "Boleh maju sejak awal bulan Ramadhan".
- Hanabilah : "Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id".

Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan
perbuatan Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma, sedangkan beliau adalah
termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallm . Nafi’ berkata:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ
يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ

"Dan Ibnu 'Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang
menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri".
[HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].

YANG BERHAK MENERIMA
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.
1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur,
dan pendapat Hanabilah.[23]

2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin.
Asy Syaukani rahimahullah berkata,"Adapun tempat pembagian shadaqah
fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam 'Barangsiapa membayarnya sebelum shalat,
maka itu merupakan zakat yang diterima,' dan perkataan Ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan zakat
fithri. Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya
didahulukan orang-orang faqir, karena perintah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut.
Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang lain." [24]

Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq
Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,"Tempat pembagian shadaqah
fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi,
orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada
bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam 'Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!' Maka
zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir,
kecuali jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau
besarnya kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain
mereka".[26]

3. Hanya orang miskin.
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka,
muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang
mengurusinya, atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan
kepada mujahid (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang)
untuknya, tidak diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada
ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi
karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang
menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat
fithri itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.[27]

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul
Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul 'Azhim bin Badawi dalam
al Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta
Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 105-106].

Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan
alasan-alasan sebagai berikut:

1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang zakat fithri:

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin". [HR Abu Dawud, no.
1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].

2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa),
sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak,
yaitu orang miskin, wallahu a’lam.
3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan golongan
sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri
termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :

"(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan. -at Taubah/9 ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa
ayat ini khusus untuk zakat mal, dilihat dari rangkaian ayat
sebelumnya dan sesudahnya.[28]

Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat
ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan
ini. Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk
delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit.
Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau
musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai
dengan hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.

PANITIA ZAKAT FITHRI?
Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu adanya
orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di
antara keterangan yang menunjukkan hal ini.[30]
1. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah
menjaga zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].
2. Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu biasa memberikan zakat fithri kepada
orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].
Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin.
Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab
mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami
jelaskan di atas.

Demikian sedikit pembahasan seputar zakat fithri. Semoga bermanfaat
untuk kita. Wallahu a'lam.

Maraji’:
1. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan, hlm:
101-107, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al
Halabi al Atsari.
2. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79-85, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim.
3. Ta’liqat Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyah,1/548-555, Imam
Shidiq Hasan Khan, ta’liq: Syaikh al Albani.
4. Al Wajiz fii Fiqhis-Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, halaman 229-231.
5. Minhajul Muslim, 230-232, Syaikh Abu Bakar al Jazairi.
6. Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/169-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi.
7. Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin,
Penerbit Muassasah Aasaam, Cet. I, Th. 1416H/1996M.
8. Majmu’ Fatawa, 25/68-69, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
9. Taisirul Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyyah li Syaikhil
Islam Ibni Taimiyah, halaman 408-414, Syaikh Dr. Ahmad al Muwafi.
10. Minhajus Salikin, 107, Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
11. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79.
[2]. HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al Albani.
[3]. Lihat Fat-hul Bari, 2/214, al Hafizh Ibnu Hajar al �Asqalani; Ma�alimus Sunan, 2/214, Imam al Khaththabi; Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, halaman 101, Syaikh Salim bin �Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari.
[4]. Ijma', karya Ibnul Mundzir, halaman 49. Dinukil dari Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80.
[5]. HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984.
[6]. Lihat Ta�liqat Radhiyah, 1/55-554; al Wajiz, 230; Minhajul Muslim, 299.
[7]. HR Bukhari, no. 1426; Ahmad, no. 7116; dan lain-lain. Lafazh ini milik Imam Ahmad.
[8]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80-81.
[9]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 102.
[10]. Taisirul Fiqh, 74, karya beliau]???
[11]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/419; dan 'Abdullah bin Ahmad dalam al Masail, no 644. Bahkan hal ini nampaknya merupakan kebiasaan Salafush-Shalih, sebagaimana dikatakan oleh Abu Qilabah rahimahullah : �Mereka biasa memberikan shadaqah fithri, termasuk memberikan dari bayi di dalam kandungan�. (Riwayat Abdurrazaq, no. 5788).
[12]. Syarhul Mumti�, 6/162-163.
[13]. Lihat Jami� Ahkamin Nisa�, 5/179-170, Syaikh Musthafa al �Adawi; Syarhul Mumti�, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al �Utsaimin.
[14]. Syaikh Salim bin �Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan : �Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/141), al Baihaqi (4/161), dari Ibnu 'Umar dengan sanad yang dha�if (lemah). Juga diriwayatkan oleh al Baihaqi (4/161) dengan sanad lain dari Ali, tetapi sanadnya munqathi� (terputus). Hadits ini juga memiliki jalan yang lain mauquf (berhenti) pada Ibnu 'Umar (yakni ucapan sahabat, bukan sabda Nabi, Pen) diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al Mushannaf (4/37) dengan sanad yang shahih. Dengan jalan-jalan periwayatan ini, maka hadits ini merupakan (hadits) hasan�. (Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, hlm. 105).
[15]. Majmu� Fatawa 25/68-69. Lihat juga Ikhtiyarat, 2/408; Minhajus Salikin, 107.
[16]. Hinthah atau qumh, yaitu sejenis gandum yang berkwalitas bagus.
[17]. HR Ahmad, 5/432. Semua perawinya terpercaya. Juga memiliki penguat pada riwayat Daruquthni, 2/151 dari Jabir dengan sanad shahih. Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, hlm. 105.
[18]. Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu Baaz, Ibnu 'Utsaimin, al Fauzan, 'Abdullah al Jibrin.
[19]. Minhajul Muslim, halaman 231.
[20]. Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/76.
[21]. Ibid, 3/80.
[22]. Ibid, 3/75.
[23]. Ikhtiyarat, 2/412-413.
[24]. Dararil Mudhiyyah, halaman 140. Penerbit Muassasah ar Rayyan, Cet. II, Th. 1418H/1997M.
[25]. At Ta�liq t ar R dhiyyah, 1/555.
[26]. Minhajul Muslim, 231. Penerbit Makatabatul 'Ulum wal Hikam & Darul Hadits, tanpa tahun; Taisirul Fiqh, 74.
[27]. Lihat asy Syarhul Kabir, 1/508; al Khurasyi 2/233. Dinukil dari Ikhtiyarat, 2/412-413.
[28]. Lihat Majmu Fatawa, 25/71-78.
[29]. Bahkan sebagian ulama berpendapat wajib dibagi untuk delapan golongan. Lihat Majmu Fatawa 25/71-78.
[30]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 106.

Featured post

(Melancholy) - Cairan empedu hitam

Tadi pagi saya dapat invite sebuah quiz tentang "apakah kepribadianmu". Hasilnya adalah ... " Melankolik ( Melancholy ) - Ca...