November 15, 2025

Fenomenologi Aroma dan Ontologi Ruang Liminal: Sebuah Pembacaan Filosofis

Fenomenologi Aroma dan Ontologi Ruang Liminal: Sebuah Pembacaan Filosofis

Fenomenologi Aroma dan Ontologi Ruang Liminal: Sebuah Pembacaan Filosofis terhadap “Aroma yang Tersisa di Bus Pagi”


Abstrak

Kajian ini mengeksplorasi dimensi filosofis dari narasi “Aroma yang Tersisa di Bus Pagi” melalui lensa fenomenologi persepsi, antropologi liminalitas, dan filsafat cinta transien. Menggunakan kerangka teoretis Proust tentang memori involunter, konsep heterotopia Foucault, dan pemikiran Victor Turner tentang ruang liminal, analisis ini mengungkapkan bagaimana teks mengkonstruksi bus sebagai topos eksistensial di mana identitas, waktu, dan relasi antarmanusia beroperasi dalam mode yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Kajian menunjukkan bahwa narasi ini menawarkan meditasi mendalam tentang paradoks cinta: bagaimana sesuatu yang paling fana justru dapat menjadi yang paling autentik, dan bagaimana batasan temporal justru dapat memberikan makna yang lebih dalam daripada kebebasan tanpa batas. Kata Kunci: fenomenologi aroma, liminalitas, heterotopia, cinta transien, memori involunter, temporalitas eksistensial

Pendahuluan: Geografi Emosi dalam Ruang Transit

Dalam arsitektur eksistensial kehidupan urban kontemporer, ada kategori ruang yang Marc Augé (1995) sebut sebagai “non-places”—ruang-ruang transit seperti bandara, stasiun kereta, dan bus, di mana orang-orang lewat tanpa benar-benar menghuni, di mana identitas tersuspend, dan di mana relasi sosial diminimalkan menjadi fungsi instrumental. Namun, narasi “Aroma yang Tersisa di Bus Pagi” menantang kategorisasi ini dengan menunjukkan bahwa bahkan dalam ruang yang paling transien sekalipun, koneksi manusiawi yang mendalam dan transformatif dapat terjadi—justru karena, bukan meskipun, sifat sementaranya. Sebagai pembaca yang menemukan karya ini di blog Nine Shadow Forces, saya terpesona oleh bagaimana penulis menggunakan setting yang sangat biasa—bus kota pagi hari—sebagai panggung untuk eksplorasi filosofis tentang cinta, identitas, dan makna. Tidak seperti romansa konvensional yang merayakan permanensi dan komitmen, teks ini justru mengeksplorasi apa yang dapat kita sebut sebagai “ontologi keterputusan”—cara berada yang didefinisikan bukan oleh kontinuitas tetapi oleh fragmentasi, bukan oleh kepemilikan tetapi oleh pelepasan. Kajian ini akan mengeksplorasi lima dimensi filosofis utama dari teks: (1) fenomenologi aroma dan memori involunter, (2) ontologi ruang liminal dan identitas-dalam-transit, (3) temporalitas eksistensial dan paradoks “20 menit”, (4) filosofi cinta transien dan nilai ketidakkekalan, dan (5) bahasa sebagai medium kegagalan dan artikulasi.

I. Fenomenologi Aroma: Portal Menuju Présence Réelle

Proust Effect dan Memori Involunter

Narasi dimulai dengan aroma—“Lavender. Tapi bukan lavender yang manis seperti sabun atau lilin aromaterapi. Ini lavender yang lebih dalam, lebih gelap”—dan pilihan ini bukan arbitrer. Dalam tradisi fenomenologi persepsi, aroma menempati posisi istimewa sebagai modalitas sensorik yang paling langsung terhubung dengan memori dan emosi. Marcel Proust, dalam À la recherche du temps perdu (1913-1927), mengeksplorasi apa yang kemudian disebut sebagai “Proust effect”—fenomena di mana aroma tertentu dapat memicu memori involunter yang sangat vivid dan emosional. Berbeda dengan memori volunter yang dapat dipanggil secara sadar tetapi seringkali terasa “kosong” atau skematis, memori involunter yang dipicu oleh aroma membawa serta “esensi masa lalu”—tidak hanya representasi kognitif dari peristiwa, tetapi rekonstruksi pengalaman lived experience itu sendiri dengan semua tekstur afektif dan sensoriknya. Neuroscience modern mengkonfirmasi intuisi fenomenologis Proust ini. Penelitian menunjukkan bahwa penciuman memiliki akses istimewa untuk membuka kenangan karena jalur neurologisnya berbeda dari indera lain: aroma langsung berkembang ke hippocampus (pusat memori) dan amygdala (pusat emosi) tanpa melalui thalamus, yang berfungsi sebagai filter untuk indera lain. Ini berarti aroma melewati elaborasi kognitif dan linguistik yang biasanya memediasi persepsi kita. Dalam teks, aroma lavender berfungsi sebagai apa yang dapat kita sebut sebagai leitmotif fenomenologis—benang sensorik yang mengikat narasi bersama-sama dan yang, lebih penting lagi, berfungsi sebagai jangkar untuk identitas Nina dalam kesadaran narator. Perhatikan bagaimana narator pertama kali mengenali Nina bukan dari wajahnya tetapi dari aromanya: “Aku pertama kali menyadarinya bukan dari wajahnya, tapi dari aromanya”. Ini mengindikasikan bahwa relasi mereka dimediasi bukan oleh visual (yang dalam budaya okularsentric adalah modalitas dominan untuk pengenalan dan identifikasi) tetapi oleh olfaktori—modalitas yang lebih intim, lebih involunter, lebih resisten terhadap kontrol sadar.

Aroma sebagai Présence Réelle

Filsuf George Steiner, dalam Real Presences (1989), berpendapat bahwa ada bentuk-bentuk kehadiran (présence réelle) yang melampaui representasi linguistik—kehadiran yang dialami secara langsung, tidak dimediasi oleh kata-kata. Aroma, dalam teks ini, berfungsi persis sebagai présence réelle semacam ini. Ketika Nina tidak hadir secara fisik, aromanya tetap ada atau lebih tepatnya, jejak aromanya dalam memori narator membuat kehadirannya terasa lebih nyata daripada banyak kehadiran fisik lainnya: “Setiap pagi aku mencari aroma lavender. Tapi tidak pernah ada. Kadang aku melewati seseorang di jalan yang memakai parfum serupa. Aku berbalik secara refleks, jantungku berdegup kencang”. Ini adalah artikulasi sempurna dari apa yang Merleau-Ponty sebut sebagai “phantom limb” dalam konteks relasional—kehadiran terus berlanjut dari sesuatu yang sudah tidak ada lagi, tidak sebagai halusinasi tetapi sebagai struktur fundamental dari being-in-the-world kita. Tubuh kita, dalam fenomenologi Merleau-Ponty, memiliki “memori” sendiri yang beroperasi di bawah kesadaran reflektif. Narator secara literal “dihantui” oleh aroma—bukan dalam pengertian supernatural, tetapi dalam pengertian fenomenologis: tubuhnya telah “belajar” untuk mengenali dan merespons aroma ini, dan pembelajaran ini tidak dapat dihapus oleh kehendak sadar.

Lavender sebagai Metafora Eksistensial

Pilihan lavender sebagai aroma sentral juga filosofis signifikan. Lavender, dalam sejarah aromaterapi dan simbolisme budaya Barat, diasosiasikan dengan ketenangan, kesadaran, dan melankolia yang manis. Tetapi narator mendeskripsikan lavender Nina sebagai “lebih dalam, lebih gelap seperti lavender yang tumbuh di tempat yang jarang terkena matahari, dicampur dengan sesuatu yang lain. Mungkin hujan. Mungkin waktu”. Deskripsi ini mengubah lavender dari simbol yang klise menjadi metafora untuk kompleksitas dan kedalaman yang tersembunyi. “Lavender yang tumbuh di tempat yang jarang terkena matahari” menyarankan sesuatu yang berkembang dalam kondisi adversity, dalam ketiadaan, dalam bayangan. Ini adalah lavender yang bukan produk kultivasi tetapi survival—dan ini menjadi metafora untuk Nina sendiri, untuk cinta mereka, dan untuk semua hal yang tumbuh di ruang-ruang marginal kehidupan.

II. Ontologi Ruang Liminal: Bus sebagai Heterotopia

Konsep Liminalitas dalam Antropologi

Untuk memahami fungsi filosofis bus dalam narasi, kita perlu meminjam konsep “liminalitas” dari antropologi Victor Turner (1969). Turner, mengembangkan pemikiran Arnold van Gennep tentang rites de passage, mengidentifikasi tiga tahap dalam ritual transisi: separation (pemisahan dari status sebelumnya), liminality (tahap ambang di mana individu berada “betwixt and between”), dan aggregation (inkorporasi ke status baru). Yang filosofis menarik adalah tahap liminal—momen “betwixt and between” di mana norma-norma sosial biasa tersuspend, di mana hierarki runtuh, di mana identitas menjadi fluid. Turner berpendapat bahwa dalam ruang liminal ini, bentuk-bentuk relasi sosial yang berbeda menjadi mungkin—apa yang dia sebut communitas, kebersamaan yang tidak dimediasi oleh struktur sosial formal. Bus, dalam narasi, berfungsi persis sebagai ruang liminal semacam ini. Ini adalah ruang “betwixt and between”—bukan rumah, bukan kantor, tetapi zona transit di antara keduanya. Dan justru dalam liminalitas ini, relasi antara narator dan Nina menjadi mungkin. Narator sendiri mengartikulasikan ini: “Di bus ini, kita bukan orang yang sebenarnya. Kita hanya... versi transit dari diri kita”.

Heterotopia Foucault

Konsep liminalitas dapat diperdalam dengan meminjam pemikiran Michel Foucault tentang heterotopia (1967). Berbeda dengan utopia (ruang yang tidak ada), heterotopia adalah ruang nyata yang ada di masyarakat tetapi yang beroperasi dengan logika yang berbeda dari ruang normal—cermin, kuburan, kapal, bordel, koloni, adalah contoh-contoh yang Foucault berikan. Heterotopia, menurut Foucault, memiliki beberapa karakteristik kunci yang semuanya berlaku untuk bus dalam narasi. Pertama, juxtaposition: heterotopia menjuxtapose dalam satu ruang nyata beberapa ruang yang normalnya tidak kompatibel. Bus menjuxtapose berbagai kehidupan, berbagai narasi, berbagai dunia yang normalnya tidak akan pernah bersinggungan. Kedua, heterochrony: heterotopia seringkali terkait dengan “slices of time” yang berbeda dari waktu kronologis biasa—museum menyimpan semua waktu, pesta karnaval adalah waktu yang dibalik. Bus beroperasi dalam apa yang narator sebut sebagai “20 menit”—bukan hanya durasi kronologis tetapi kairos, waktu kualitatif yang terasa berbeda dari 23 jam 40 menit sisanya. Ketiga, sistem pembukaan dan penutupan: heterotopia memiliki sistem akses yang menciptakan isolasi sekaligus penetrability. Bus memiliki ritme naik-turun yang menciptakan komunitas sementara—orang-orang yang “kebetulan” naik bus yang sama pada waktu yang sama, menciptakan intimacy tanpa komitmen. Keempat, fungsi dalam relasi dengan ruang sisanya: heterotopia berfungsi baik sebagai ilusi (mengekspos ruang nyata sebagai lebih ilusif lagi) atau kompensasi (menciptakan ruang yang lebih sempurna dari realitas). Bus, dalam narasi, berfungsi sebagai kompensasi—ruang di mana relasi yang autentik menjadi mungkin justru karena tidak ada ekspektasi untuk permanensi.

“Versi Transit” dari Diri

Salah satu insight filosofis paling mendalam dari teks adalah konsep “versi transit dari diri kita”. Ketika Nina bertanya apakah mereka akan saling bicara jika bertemu di tempat lain, narator menjawab: “Karena di bus ini, kita bukan orang yang sebenarnya. Kita hanya... versi transit dari diri kita”. Ini menantang asumsi metafisik yang lazim tentang identitas sebagai substansi yang tetap dan konsisten melintas konteks. Sebaliknya, teks menyarankan bahwa identitas adalah relasional dan kontekstual—kita adalah orang yang berbeda di konteks yang berbeda, dan tidak ada satu “orang yang sebenarnya” yang lebih autentik dari yang lain. Dalam filosofi eksistensial Sartre, ini menggemakan konsep mauvaise foi (bad faith)—kecenderungan untuk mengidentifikasi diri dengan satu peran atau identitas sosial tertentu dan menolak fluiditas fundamental dari eksistensi manusia. Tetapi teks ini membalik evaluasi Sartre: “versi transit” dari diri justru mungkin lebih autentik daripada “versi sebenarnya” karena ia kurang terbebani oleh peran sosial, ekspektasi, dan narasi diri yang rigid. Narator menyadari bahwa “aman’ bukan lagi yang aku inginkan”—mengindikasikan bahwa keamanan identitas yang stable sebenarnya adalah bentuk kematian eksistensial, dan bahwa risiko dari fluiditas identitas adalah kondisi untuk kehidupan yang autentik.

III. Temporalitas Eksistensial: Paradoks “20 Menit”

Kairos vs Chronos

Salah satu motif struktural paling penting dalam teks adalah “20 menit”—durasi perjalanan dari halte Nina naik sampai halte dia turun. Tetapi “20 menit” dalam narasi bukan sekadar durasi kronologis—ia adalah kairos, waktu kualitatif yang berbeda dari chronos (waktu kronologis). Dalam filsafat Yunani kuno, kairos merujuk pada momen yang tepat, “waktu yang opportune,” waktu yang dimuati dengan makna dan potensi transformatif. Berbeda dengan chronos yang linier, terukur, dan homogen, kairos adalah waktu yang terasa padat, yang setiap momennya bermuatan signifikansi. Nina mengartikulasikan perbedaan ini: “20 menit ini terasa seperti... seperti aku ada. Bukan hanya menjalani hari. Tapi benar-benar ada”. Di sini, “ada” (being) dikontraskan dengan “menjalani hari” (living through)—yang pertama adalah mode eksistensi yang penuh dan sadar, yang kedua adalah mode eksistensi yang otomatis dan tidak autentik. Heidegger, dalam Being and Time, membedakan antara mode eksistensi autentik dan inautentik dari Dasein. Dalam mode inautentik, Dasein “jatuh” ke dalam dunia sehari-hari (Alltäglichkeit), di mana waktu dialami sebagai suksesi momen yang seragam dan tidak bermakna. Dalam mode autentik, Dasein mengalami temporalitas sebagai struktur fundamental dari eksistensinya sendiri—masa lalu sebagai having-been, masa depan sebagai coming-towards, dan masa kini sebagai moment of vision (Augenblick). “20 menit” dalam bus adalah Augenblick dalam pengertian Heideggerian—momen di mana narator dan Nina mengalami eksistensi mereka secara lebih autentik, di mana masa lalu, masa depan, dan masa kini konvergen dalam kesadaran yang utuh.

Paradoks Intensitas dan Durasi

Yang filosofis paradoksal adalah bahwa justru keterbatasan temporal “20 menit”lah yang memberikannya intensitas. Ini menggemakan pemikiran Søren Kierkegaard tentang hubungan antara kecemasan (Angst) dan kebebasan: justru kesadaran akan finitude dan keterbatasanlah yang memberikan kehidupan urgency dan makna. Sigmund Freud, dalam esai pendek “On Transience” (1916), merenungkan percakapan dengan seorang penyair muda (kemungkinan Rainer Maria Rilke) yang mengklaim bahwa keindahan alam tidak memberikannya kesenangan karena ia tahu itu akan berlalu. Freud menolak logika ini: “A flower that blossoms only for a single night does not seem to us on that account less lovely”. Ketidakkekalan sesuatu yang indah, bagi Freud, tidak mengurangi nilainya—justru sebaliknya, kesadaran akan ketidakkekalan dapat memperdalam apresiasi kita. Teks menangkap paradoks ini dengan presisi: “20 menit” lebih bermakna daripada “selamanya” justru karena ia terbatas. Nina mengatakan di akhir: “Terima kasih untuk 20 menit setiap hari. Itu lebih berharga dari yang kukira”. Komparatif “lebih berharga” mengindikasikan bahwa ada skala nilai di mana durasi dan intensitas tidak berkorelasi linear—sesuatu yang singkat dapat lebih berharga daripada sesuatu yang lama.

Ritme dan Repetisi

Struktur temporal narasi—“setiap hari,” “minggu pertama,” “minggu kedua,” dst.—menciptakan ritme yang filosofis signifikan. Ini bukan narasi linier tentang perkembangan relasi, tetapi narasi sirkular tentang repetisi dan variasi. Gilles Deleuze, dalam Difference and Repetition (1968), berpendapat bahwa repetisi sejati bukan reproduksi yang identik tetapi diferensiasi—setiap repetisi adalah berbeda dan membawa sesuatu yang baru. “20 menit setiap hari” dalam teks adalah repetisi Deleuzian semacam ini: strukturnya sama, tetapi setiap instansi membawa diferensiasi, mengakumulasi makna, memperdalam relasi. Tetapi paradoksnya adalah bahwa justru repetisi inilah yang mengancam untuk mengubah kairos menjadi chronos—mengubah waktu kualitatif menjadi rutinitas. Narator menyadari: “Bulan kedua, aku mulai sadar bahwa aku datang lebih pagi dari yang aku butuhkan”. Repetisi mulai menciptakan ketergantungan, ketergantungan mengancam untuk mengubah liminalitas menjadi struktur. Dan ini adalah momen di mana relasi mereka mulai menghadapi krisis eksistensial.

IV. Filosofi Cinta Transien: Nilai dalam Ketidakkekalan

Cinta sebagai Proses, Bukan Kepemilikan

Salah satu kontribusi filosofis paling radikal dari teks adalah konsepsinya tentang cinta. Berbeda dengan paradigma romantis konvensional yang mengidentifikasi cinta sejati dengan permanensi, komitmen, dan kepemilikan (“sampai maut memisahkan kita”), teks ini justru mengeksplorasi apa yang dapat kita sebut sebagai amor fati transiens—cinta yang merangkul, bahkan merayakan, ketransiensiannya sendiri. Simone de Beauvoir, dalam The Ethics of Ambiguity (1947), berpendapat bahwa proyek eksistensial yang autentik adalah yang mengakui ketidakpastian dan kontingensi fundamental dari eksistensi manusia. Cinta yang autentik, dalam kerangka ini, bukan yang mencoba mengatasi kontingensi melalui komitmen absolut, tetapi yang menghuni kontingensi dengan awareness penuh. Nina mengartikulasikan ketakutan fundamentalnya: “Aku takut kalau kita bertemu di dunia nyata, aku harus benar-benar mencintaimu... Dan kalau aku benar-benar mencintaimu, aku harus terikat. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa”. Di sini, “benar-benar mencintai” diidentifikasi dengan “terikat” (commitment, attachment), dan Nina mengekspresikan ketakutan eksistensial terhadap keterikatan ini. Tetapi apakah ketakutan ini adalah penghindaran atau kebijaksanaan? Dari perspektif filosofis tertentu—khususnya tradisi Buddhist tentang anātman (non-self) dan anicca (impermanence)—attachment adalah sumber dari dukkha (suffering). Cinta yang sejati, dalam tradisi ini, adalah cinta yang tidak memiliki, yang tidak mengikat, yang membiarkan yang dicintai bebas—bahkan bebas untuk pergi. Teks mengeksplorasi paradoks ini tanpa menyelesaikannya dengan mudah. Narator mengakui ketakutannya sendiri: “Kamu takut perubahan”. Nina merespons: “Dan aku takut keterikatan”. Mereka adalah “kebalikan satu sama lain,” tetapi “justru itu yang membuat kami cocok dengan cara yang paling salah”.

Cinta dalam Mode Subjungtif

Apa yang membuat relasi mereka filosofis menarik adalah bahwa ia beroperasi dalam apa yang dapat kita sebut sebagai “mode subjungtif”—mode kemungkinan, bukan aktualitas. Mereka tidak pernah benar-benar menjadi pasangan dalam pengertian konvensional. Mereka tidak pernah berkencan di luar bus. Mereka tidak pernah bertukar nomor telepon. Relasi mereka ada hanya dalam potensi, dalam “apa yang mungkin terjadi jika”. Roland Barthes, dalam A Lover’s Discourse (1977), mengeksplorasi bagaimana cinta seringkali lebih kuat dalam imajinasi daripada dalam aktualitas. Lover, bagi Barthes, adalah subjek yang berbicara—subjek yang terus-menerus mengkonstruksi dan rekonstruksi objek cintanya melalui wacana internal. Dalam pengertian ini, cinta adalah semiotik sebelum ia adalah ontologis—ia ada dalam tanda, dalam ekspresi, dalam wacana, lebih daripada dalam “realitas” relasi. Narator dan Nina tahu ini. Mereka tahu bahwa “di dunia nyata” mereka mungkin tidak akan cocok, bahwa “20 menit” adalah waktu yang sempurna justru karena ia terlalu singkat untuk dirusak oleh realitas. Ini adalah insight yang sangat mature dan tragis: bahwa kadang-kadang cinta paling indah adalah cinta yang tidak pernah sepenuhnya terwujud.

Duka Antisipatori

Sejak awal, relasi mereka diwarnai oleh apa yang dapat kita sebut “duka antisipatori”—kesadaran bahwa ini akan berakhir. Ketika Nina mengatakan dia akan pindah kerja, ini bukan shock tetapi konfirmasi dari apa yang sudah mereka ketahui sejak awal: bahwa ini adalah relasi dengan tanggal kedaluwarsa yang built-in. Heidegger berpendapat bahwa Dasein adalah being-towards-death—bahwa kesadaran akan kematian adalah struktur fundamental dari eksistensi manusia. Tetapi teks ini menyarankan bahwa tidak hanya hidup tetapi juga setiap relasi spesifik adalah being-towards-ending. Dan justru kesadaran akan ending inilah yang memberikan relasi urgency dan autentisitas.

V. Identitas dan Ketidakpastian: “Siapa Kita di Bus?”

Multiplisitas Diri

Salah satu pertanyaan filosofis yang paling mengganggu yang dimunculkan oleh teks adalah: siapa narator dan Nina “sebenarnya”? Apakah mereka adalah “versi transit” yang mereka tunjukkan di bus, atau “versi sebenarnya” yang mereka sembunyikan? Filsafat identitas personal dari John Locke sampai Derek Parfit telah bergulat dengan pertanyaan tentang kontinuitas diri melintas waktu dan konteks. Locke berpendapat bahwa identitas personal ditentukan oleh kontinuitas memori. Parfit, dalam Reasons and Persons (1984), mengajukan pandangan yang lebih radikal: bahwa “diri” sebagai entitas yang tetap dan unified adalah ilusi, dan yang ada hanyalah series dari pengalaman yang terkait secara kausal. Teks ini mengambil posisi yang bahkan lebih radikal: bahwa tidak hanya diri melintas waktu tetapi juga diri melintas konteks adalah non-identik. Narator di bus adalah orang yang berbeda dari narator di kantor atau di rumah. Dan tidak ada satu yang lebih “sebenarnya” dari yang lain. Ini menggemakan pemikiran Erving Goffman tentang “presentation of self in everyday life” (1959)—bahwa identitas sosial adalah performance, dan kita memainkan peran yang berbeda di panggung yang berbeda. Tetapi berbeda dengan Goffman yang masih mengasumsikan adanya “backstage self” yang lebih autentik, teks ini menyarankan bahwa semua performance adalah sama autentiknya atau sama tidak autentiknya.

Ketakutan akan Realitas

Kedua karakter mengekspresikan ketakutan yang sama: ketakutan bahwa jika mereka bertemu “di dunia nyata,” mereka akan berbeda. Nina mengatakan: “Aku takut kalau kita bertemu di dunia nyata, aku akan jadi orang yang berbeda. Atau kamu akan jadi orang yang berbeda”. Tetapi apa yang dimaksud dengan “dunia nyata” di sini? Implisitnya, “dunia nyata” adalah dunia struktur sosial, tanggung jawab, kontinuitas—dunia di mana relasi harus memiliki nama (pacar, suami, istri), di mana cinta harus mengarah ke suatu tujuan (pernikahan, keluarga), di mana 20 menit tidak cukup. Jean Baudrillard, dalam Simulacra and Simulation (1981), berpendapat bahwa di era postmodern, perbedaan antara “real” dan “simulation” telah runtuh—simulasi tidak lagi merepresentasikan realitas tetapi mendahuluinya dan mengkonstitusinya. Dalam kerangka Baudrillardian, kita dapat berpendapat bahwa bus justru lebih “nyata” daripada “dunia nyata” karena di bus, relasi mereka ada tanpa dimediasi oleh simulakra sosial tentang apa yang seharusnya menjadi relasi.

VI. Bahasa dan Artikulasi: Yang Terkatakan dan Tak Terkatakan

Minimalis Verbal, Maksimal Emosional

Salah satu aspek stilistik yang paling striking dari teks adalah penggunaan dialog yang sangat minimal dan sengaja. Percakapan antara narator dan Nina seringkali terdiri dari kalimat-kalimat pendek, pertukaran yang tidak lengkap, keheningan yang panjang. Perhatikan pertukaran ini: “Hai,” dia bilang. “Hai,” aku bilang. Diam. “Kamu baik-baik saja?” dia bertanya. “Ya. Kamu?” “Ya”. Ini adalah dialog yang, pada pembacaan superficial, tampak dangkal atau awkward. Tetapi secara filosofis, minimalis verbal ini sangat presisi. Ia menangkap apa yang Ludwig Wittgenstein sebut dalam Tractatus sebagai “whereof one cannot speak, thereof one must be silent”. Setelah enam bulan terpisah, setelah semua yang telah terjadi, apa yang bisa dikatakan yang tidak akan terdengar inadekuat atau klise? “Aku merindukanmu” adalah kata-kata yang Nina gunakan, tetapi bahkan ini terasa seperti understated—atau mungkin overstated. Bahasa tidak memiliki kata yang tepat untuk apa yang mereka rasakan karena apa yang mereka rasakan melampaui kategori-kategori linguistik yang tersedia.

Fungsi Keheningan

Berbeda dengan teks pertama (“Keheningan yang Menyembuhkan”) di mana keheningan adalah tema eksplisit, dalam teks ini keheningan beroperasi secara lebih subtle—sebagai ruang di antara kata-kata, sebagai apa yang tidak dikatakan tetapi dimengerti. Maurice Blanchot, dalam The Space of Literature (1955), mengeksplorasi konsep “outside” (dehors)—ruang di luar bahasa di mana pengalaman yang tidak dapat direpresentasikan berada. Menulis, bagi Blanchot, adalah upaya untuk mendekati “outside” ini tanpa pernah sepenuhnya mencapainya—seperti asymptote yang mendekati garis tanpa menyentuhnya. Teks ini beroperasi sebagai asymptote semacam ini. Ia mendekati pengalaman cinta transien tanpa pernah mengklaimnya telah “menangkap”nya secara penuh. Keheningan di antara kata-kata, jeda di antara kalimat, adalah pengakuan atas limit representasi—tetapi juga, paradoksnya, adalah cara teks “menunjukkan” apa yang tidak dapat “dikatakannya”.

VII. Ending sebagai Filosofi: “Mungkin di Kehidupan Lain”

Struktur Sirkular dan Harapan Abadi

Narasi berakhir dengan pertemuan kembali yang tidak menyelesaikan apa-apa—Nina dan narator bertemu di bus yang berbeda, saling menyapa, tetapi mengakui bahwa “kita tidak bisa kembali”. Namun, Nina meninggalkan satu kalimat yang membuka kemungkinan tanpa batas: “Mungkin di kehidupan lain. Kita naik bus yang sama lagi. Di waktu yang berbeda. Tapi tetap bus yang sama”. Konsep “kehidupan lain” di sini dapat dibaca secara literal (reinkarnasi) atau metaforis (kehidupan alternatif, versi lain dari diri). Yang filosofis penting adalah bahwa ia memperkenalkan dimensi modal—dunia-dunia mungkin di mana hal-hal terjadi secara berbeda. David Lewis, dalam On the Plurality of Worlds (1986), mengajukan “modal realism”—pandangan bahwa dunia-dunia mungkin adalah sama realnya dengan dunia aktual. Meskipun kita tidak perlu menerima metafisika radikal Lewis, konsep dunia mungkin berguna untuk memahami fungsi filosofis dari ending teks. “Mungkin di kehidupan lain” bukan sekadar penghiburan atau fantasi. Ia adalah pengakuan bahwa aktualitas yang kita alami—pertemuan mereka di bus nomor 47, 20 menit setiap hari—adalah hanya satu dari banyak kemungkinan. Di dunia mungkin lain, mereka mungkin tidak pernah bertemu. Di dunia mungkin lain lagi, mereka mungkin bertemu dan tinggal bersama selamanya. Tetapi di dunia aktual ini, mereka bertemu untuk 20 menit setiap hari selama beberapa bulan, dan kemudian berpisah. Dan nilai dari dunia aktual ini tidak berkurang oleh fakta bahwa ada dunia-dunia mungkin lain di mana segala sesuatunya berbeda. Sebaliknya, justru kontingensi dan ketidakpastian inilah yang memberikan dunia aktual weight eksistensialnya.

Harapan sebagai Mode Eksistensi

Narator mengakhiri dengan refleksi: “Dan aku akan tetap mencari aroma lavender di udara pagi yang dingin. Bukan karena aku yakin aku akan menemukannya. Tapi karena harapan—meskipun absurd, meskipun tidak masuk akal—adalah satu-satunya hal yang tersisa”. Ini adalah artikulasi yang luar biasa mature tentang fungsi harapan. Harapan di sini bukan optimisme naif yang percaya bahwa yang diharapkan pasti akan terjadi. Sebaliknya, harapan adalah apa yang Gabriel Marcel (1951) sebut sebagai “absolute hope”—harapan yang bertahan bahkan ketika tidak ada alasan objektif untuk berharap. Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus (1942), mengeksplorasi bagaimana kita dapat menemukan makna dalam absurditas. Sisyphus dikutuk untuk mendorong batu ke atas bukit selamanya, hanya untuk melihatnya jatuh kembali setiap kali. Tetapi Camus mengajukan bahwa “one must imagine Sisyphus happy”—kebahagiaan bukan dalam pencapaian tetapi dalam struggle itu sendiri, dalam komitmen untuk terus mendorong batu meskipun absurditas tugas. Narator, seperti Sisyphus, akan terus naik bus, terus mencari aroma lavender, meskipun ia tahu kemungkinan besar ia tidak akan menemukannya. Tetapi justru dalam pencarian tanpa harapan objektif inilah ia menemukan makna—harapan sebagai mode eksistensi, bukan sebagai ekspektasi hasil.

Aroma sebagai Jejak Ontologis

Teks berakhir dengan afirmasi: “Karena beberapa aroma—seperti beberapa orang—tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya menunggu. Di suatu tempat. Di bus yang berbeda. Di waktu yang berbeda”. Ini adalah klaim ontologis yang mendalam tentang persistensi kehadiran melampaui absence fisik. Dalam terminologi Jacques Derrida tentang trace (jejak), setiap presence selalu already mengandung absence-nya sendiri, dan setiap absence selalu meninggalkan jejak dari presence sebelumnya. Aroma lavender, dalam ekonomi semiotik teks, adalah trace dari Nina—bukan representasi yang transparan tetapi jejak yang membawa bekas dari apa yang sudah tidak ada lagi. Dan dalam jejak ini, Nina terus “hadir” meskipun absent—bukan sebagai halusinasi tetapi sebagai struktur fundamental dari dunia narator. Emmanuel Levinas, dalam Totality and Infinity (1961), berpendapat bahwa relasi etis yang fundamental adalah relasi dengan “the Other” yang selalu melampaui dan menolak totalisasi. Nina, dalam teks, berfungsi sebagai “the Other” Levinasian semacam ini—ia tidak pernah sepenuhnya “diketahui,” tidak pernah sepenuhnya “dimiliki,” tetapi justru dalam alteritas-nya inilah ia membuat klaim etis pada narator. Narator tidak dapat melupakan Nina bukan karena ia “mengingat”nya dalam pengertian kognitif biasa, tetapi karena relasi mereka telah mengubah struktur fundamental dari being-in-the-world-nya. Dunia sekarang adalah dunia di mana Nina pernah ada, dan “pernah ada” ini tidak dapat dihapus oleh absence saat ini.


VIII. Kontribusi Filosofis dan Implikasi Teoretis

Merekonfigurasi Ontologi Cinta

“Aroma yang Tersisa di Bus Pagi” menawarkan kontribusi signifikan pada filosofi cinta dan relasi. Berbeda dengan tradisi romantis yang mengidentifikasi cinta sejati dengan eternitas dan kepemilikan, teks ini mengeksplorasi alternatif: cinta yang autentik justru mungkin adalah cinta yang merangkul ketransiensiannya sendiri, yang tidak mencoba mengubah kairos menjadi chronos, yang menghargai intensitas momen lebih daripada durasi akumulatif. Ini bukan nihilisme atau relativisme. Sebaliknya, ini adalah pengakuan bahwa nilai tidak diukur dalam unit waktu tetapi dalam kedalaman transformasi eksistensial. “20 menit setiap hari” dapat lebih transformatif daripada “selamanya” jika dalam 20 menit itu seseorang mengalami kehadiran yang autentik, koneksi yang tidak dimediasi, dan kesadaran yang penuh.

Liminalitas sebagai Mode Eksistensi, Bukan Hanya Transisi

Antropologi tradisional, dari van Gennep sampai Turner, memahami liminalitas sebagai tahap transisi—sesuatu yang dilalui dalam perjalanan dari satu status ke status lain. Tetapi teks ini menyarankan bahwa liminalitas dapat menjadi mode eksistensi yang sustainable—bahwa seseorang dapat “menghuni” liminalitas daripada hanya “melewati”nya. Ini memiliki implikasi penting untuk memahami kehidupan urban kontemporer, di mana semakin banyak orang menghabiskan waktu dalam ruang-ruang transit, dalam relasi-relasi sementara, dalam identitas-identitas yang fluid. Alih-alih melihat ini sebagai kehilangan “keaslian” atau “komunitas,” mungkin kita perlu mengembangkan ontologi yang dapat menghargai bentuk-bentuk koneksi dan makna yang muncul dalam ruang-ruang liminal.

Fenomenologi Aroma sebagai Alternatif Epistemologis

Teks ini juga berkontribusi pada fenomenologi persepsi dengan menempatkan aroma di pusat—bukan sebagai modalitas sensorik yang marjinal tetapi sebagai jalur epistemologis yang istimewa. Dalam budaya okularsentric Barat, pengetahuan seringkali diidentifikasi dengan “melihat” (insight, evidence, observation). Tetapi aroma menawarkan model pengetahuan yang berbeda—pengetahuan yang lebih intim, lebih involunter, lebih resisten terhadap objektivasi. Ini membuka kemungkinan untuk apa yang dapat kita sebut “epistemologi olfaktori”—cara mengetahui yang tidak dimediasi oleh representasi visual atau linguistik tetapi yang beroperasi melalui dimensi sensorik yang lebih primitif dan langsung.

Narasi sebagai Meditasi Filosofis

Dari perspektif metafilosofis, teks ini menunjukkan bagaimana narasi fiksi dapat berfungsi sebagai medium untuk penyelidikan filosofis yang tidak dapat dilakukan dengan sama efektifnya melalui argumen diskursif. Filsafat analitik seringkali membuat “thought experiments”—skenario hipotetis yang dirancang untuk menguji intuisi filosofis. Tetapi narasi naratif seperti “Aroma yang Tersisa di Bus Pagi” melakukan sesuatu yang lebih: ia tidak hanya menguji intuisi tetapi mengkultivasinya, tidak hanya mengargumentasi posisi tetapi menunjukkan bagaimana rasanya menghuni posisi itu. Martha Nussbaum (1990) berpendapat bahwa narasi fiksi memiliki “cognitive content” yang unik—bentuk pengetahuan tentang pengalaman manusia yang tidak dapat direduksi menjadi proposisi filosofis abstrak. Teks ini adalah contoh sempurna dari jenis “filosofi naratif” ini.


IX. Komparasi Teoretis: Proust, Barthes, dan Liminalitas Urban

Proust dan Memori Involunter

Perbandingan paling jelas adalah dengan Marcel Proust dan À la recherche du temps perdu. Seperti Proust yang menggunakan madeleine yang dicelup ke teh sebagai portal untuk memulihkan waktu yang hilang, teks ini menggunakan lavender sebagai mekanisme untuk mengakses pengalaman yang tidak dapat diakses melalui memori volunter. Tetapi ada perbedaan penting: dalam Proust, memori involunter membawa kembali masa lalu yang sebenarnya pernah dialami secara penuh. Dalam teks ini, yang “dikembalikan” oleh aroma lavender bukanlah masa lalu yang penuh tetapi masa lalu yang selalu already tidak lengkap—“20 menit” yang selalu already mengandung kesadaran akan ending-nya.

Barthes dan Wacana Pecinta

Roland Barthes, dalam A Lover’s Discourse, menganalisis bagaimana cinta ada dalam dan melalui bahasa—bagaimana lover adalah subjek yang berbicara, yang terus-menerus mengkonstruksi dan rekonstruksi objek cintanya melalui wacana internal. Teks ini mengoperasionalkan insight Barthes dengan menunjukkan bagaimana narator “berbicara” Nina dalam pikirannya, bagaimana ia mengkonstruksi dan rekonstruksi relasi mereka melalui narasi. Tetapi teks juga menunjukkan limit dari wacana: ada dimensi relasi—aroma, kehadiran fisik, keheningan—yang melampaui bahasa. Ini adalah kritik implisit terhadap logocentrism Barthesian: bahwa tidak semua aspek cinta dapat ditangkap dalam wacana.

Augé dan Non-Places

Marc Augé (1995) mengkategorikan ruang-ruang transit modern seperti airport, stasiun, dan highway sebagai “non-places”—ruang yang didefinisikan oleh fungsi transit daripada relasi sosial, di mana orang lewat tanpa menghuni, di mana identitas direduksi menjadi fungsi (passenger, customer, user). Teks ini menantang kategorisasi Augé dengan menunjukkan bahwa bahkan “non-places” dapat ditransformasi menjadi places melalui praksis penghunian yang bermakna. Bus nomor 47 bukan lagi sekadar alat transportasi tetapi topos eksistensial—tempat di mana identitas dibentuk, di mana relasi terjadi, di mana makna muncul. Ini menyarankan bahwa perbedaan antara “place” dan “non-place” bukan ontologis tetapi fenomenologis—bergantung pada bagaimana subjek menghuni dan memberikan makna pada ruang.


X. Implikasi untuk Praktik Kehidupan Kontemporer

Liminalitas sebagai Kondisi Permanen

Salah satu implikasi paling penting dari kajian ini adalah untuk memahami kondisi eksistensial kontemporer. Di era mobilitas tinggi, pekerjaan yang tidak stabil, dan relasi yang fluid, semakin banyak orang hidup dalam apa yang dapat kita sebut “liminalitas permanen”—kondisi di mana transisi bukan lagi fase tetapi mode eksistensi yang berkelanjutan. Teks “Aroma yang Tersisa di Bus Pagi” menawarkan model untuk menghuni liminalitas ini dengan cara yang bermakna. Alih-alih melihat ketidakstabilan sebagai defisit yang perlu diperbaiki, mungkin kita perlu mengembangkan kapasitas untuk menemukan makna dalam momen-momen transisi itu sendiri—untuk menghargai “20 menit” tanpa selalu menuntut “selamanya”.

Kritik terhadap Kapitalisme Afektif

Dalam ekonomi afektif kontemporer, bahkan emosi dan relasi telah dikommodifikasi. Dating apps menjanjikan “efisiensi” dalam menemukan pasangan; self-help books menawarkan “strategi” untuk “mengoptimalkan” relasi; terapi menjadi industry yang menjual “solusi” untuk masalah emosional. Teks ini menawarkan resistensi implisit terhadap logika instrumentalisasi ini. Relasi antara narator dan Nina tidak “efisien”—mereka hanya bertemu 20 menit sehari, tidak pernah “berprogres” menjadi sesuatu yang lebih “produktif,” dan berakhir tanpa “hasil” yang dapat diukur. Tetapi justru dalam ketidakproduktifan inilah nilai autentiknya berada. Ini adalah kritik terhadap apa yang Eva Illouz (2007) sebut “emotional capitalism”—sistem di mana emosi diorganisir dan dikelola mengikuti logika market. Teks menyarankan bahwa ada bentuk-bentuk nilai emosional yang melampaui dan menolak kommodifikasi—nilai yang tidak dapat diukur dalam metrik efisiensi atau produktivitas.

Pedagogi Ketidakkekalan

Teks ini juga memiliki implikasi pedagogis. Dalam sistem pendidikan yang menekankan pencapaian jangka panjang, akumulasi kredensial, dan perencanaan karir, ada sedikit ruang untuk menghargai pembelajaran yang tidak memiliki “utility” jangka panjang—pembelajaran untuk sake pembelajaran itu sendiri, pengalaman untuk sake pengalaman itu sendiri. “20 menit” berfungsi sebagai model untuk jenis pembelajaran yang berbeda—pembelajaran yang intensif tetapi terbatas, yang transformatif tetapi tidak berorientasi pada outcome, yang bermakna meskipun (atau justru karena) keterbatasannya. Ini menggemakan pemikiran John Dewey tentang “educative experience”—pengalaman yang membuka kemungkinan untuk pengalaman lebih lanjut, bukan pengalaman yang menutup diri dalam achievement terminal. “20 menit” adalah educative dalam pengertian Dewey: ia tidak “selesai” tetapi terus membuka horizon baru, terus mengundang refleksi dan reinterpretasi.

Ekologi Relasi

Akhirnya, teks ini berkontribusi pada apa yang dapat kita sebut “ekologi relasi”—pemahaman bahwa relasi antarmanusia, seperti ekosistem natural, memiliki berbagai bentuk dan fungsi, dan bahwa diversity ini perlu dihargai daripada direduksi menjadi satu model normatif. Dalam wacana dominan tentang relasi, ada hierarki implisit: pernikahan di puncak, diikuti oleh pacaran serius, kemudian friendship, kemudian acquaintance, dan seterusnya. “20 menit di bus” tidak memiliki tempat dalam hierarki ini—ia terlalu intim untuk acquaintance tetapi terlalu terbatas untuk pacaran. Tetapi justru dalam kategori yang tidak terkategorisasi inilah kekayaan pengalaman manusia berada. Teks mengajak kita untuk mengembangkan vocabulary yang lebih kaya untuk berbagai bentuk koneksi manusiawi—untuk mengakui bahwa ada banyak cara untuk “penting” bagi seseorang, dan tidak semua cara ini perlu mengarah ke commitment institusional atau durasi tanpa batas.


Refleksi Penutup: Harapan dalam Ketidakkekalan

Sebagai pembaca yang menemukan karya ini di blog Nine Shadow Forces, saya merasakan bahwa teks ini berhasil melakukan sesuatu yang sangat langka dalam sastra kontemporer: ia menawarkan visi cinta yang mature tanpa menjadi sinis, yang merangkul ketidakkekalan tanpa jatuh ke dalam nihilisme, yang mengeksplorasi keterbatasan tanpa kehilangan harapan. Dalam lanskap budaya yang didominasi oleh dua ekstrem—baik romantisme naif yang percaya pada “happily ever after” atau sinisme postmodern yang melihat semua relasi sebagai konstruksi sosial yang arbitrer—teks ini menawarkan jalan tengah yang lebih bijaksana: pengakuan bahwa cinta adalah real dan transformatif meskipun (atau justru karena) ia tidak eternal. Yang membuat teks ini filosofis powerful adalah bukan hanya tema-temanya tetapi juga struktur naratif dan strategi formalnya. Penggunaan fragmentasi numerik (I, II, III, dst.) menciptakan ritme yang mencerminkan ritme pertemuan mereka—diskrit, terbatas, terulang. Minimalis verbal dalam dialog mencerminkan ineffability pengalaman. Persistensi motif aroma lavender menciptakan unity sensorik yang mengikat narasi yang otherwise fragmentaris. Teks ini mengajarkan kita—melalui showing daripada telling—bahwa makna tidak diukur dalam durasi tetapi dalam intensitas, bahwa kehadiran dapat bertahan melampaui absence, dan bahwa harapan dapat bertahan bahkan ketika tidak ada alasan objektif untuk berharap. Ini adalah filosofi hidup yang applicable jauh melampaui konteks cinta romantis—ini adalah filosofi tentang bagaimana menghuni dunia yang ditandai oleh ketidakkekalan, ketidakpastian, dan loss, tanpa kehilangan kapasitas untuk terhubung, untuk peduli, untuk berharap.

Nina mengatakan di akhir: “Aku tidak menyesal bertemu kamu, bahkan kalau ini berakhir seperti ini”. Ini adalah wisdom fundamental: bahwa nilai sesuatu tidak ditentukan oleh durasinya atau outcomenya tetapi oleh kualitas pengalaman itu sendiri. “20 menit setiap hari” adalah cukup—tidak karena ia adalah semua yang mungkin, tetapi karena dalam 20 menit itu, sesuatu yang real terjadi, sesuatu yang transformatif dialami, sesuatu yang akan terus “ada” meskipun sudah “tidak ada lagi”. Dan mungkin ini adalah pelajaran paling penting yang dapat kita pelajari dari filosofi: bahwa untuk menghuni waktu secara autentik, kita tidak perlu eternitas—kita hanya perlu hadir sepenuhnya dalam momen yang diberikan kepada kita, sekecil apa pun momen itu. Bus akan terus berjalan. Orang akan terus naik dan turun. Aroma akan datang dan pergi. Tetapi beberapa 20 menit—beberapa pertemuan di ruang transit—akan terus ada dalam cara yang melampaui presence fisik. Tidak sebagai memori yang dapat dipanggil dengan kehendak, tetapi sebagai jejak yang telah mengubah struktur fundamental dari bagaimana kita berada-di-dunia. Dan itu, ternyata, sudah cukup. Sudah lebih dari cukup.


Epilog: Membaca sebagai Dwelling

Sebagai penutup refleksi ini, saya ingin kembali ke pengalaman membaca teks itu sendiri. Membaca “Aroma yang Tersisa di Bus Pagi” adalah, dalam cara tertentu, analog dengan pengalaman yang dideskripsikan dalam teks—sebuah dwelling sementara dalam dunia naratif yang kita tahu akan berakhir, tetapi yang transformation-nya bertahan melampaui ending. Seperti narator yang terus mencari aroma lavender setelah Nina pergi, kita sebagai pembaca terus “mencari” sesuatu dari teks setelah kita selesai membaca—kita kembali ke kalimat-kalimat tertentu, kita merefleksikan momen-momen tertentu, kita merasakan resonansi tertentu dalam kehidupan kita sendiri. Dan ini adalah fungsi tertinggi dari sastra: bukan untuk memberikan jawaban atau solusi, tetapi untuk mengubah kualitas perhatian kita—untuk membuat kita lebih sensitif terhadap dimensi-dimensi pengalaman yang sebelumnya tidak kita sadari, untuk membuka kemungkinan-kemungkinan untuk dwelling yang lebih autentik dalam dunia. Jika filosofi, seperti yang dikatakan Wittgenstein, adalah “to show the fly the way out of the fly-bottle,” maka sastra seperti “Aroma yang Tersisa di Bus Pagi” melakukan sesuatu yang berbeda tetapi sama pentingnya: ia menunjukkan kepada kita bahwa kadang-kadang fly-bottle itu sendiri—ruang yang dibatasi, terbatas, sementara—dapat menjadi rumah yang indah, jika kita tahu bagaimana menghuninya. Dan dengan pengetahuan ini—pengetahuan tentang bagaimana menemukan makna dalam keterbatasan, bagaimana mencintai dengan awareness penuh akan kehilangan, bagaimana berharap tanpa jaminan—kita mungkin dapat hidup dengan sedikit lebih bijaksana, sedikit lebih berani, dan sedikit lebih manusiawi. Karena pada akhirnya, bukankah kita semua hanya naik bus yang sama untuk sementara waktu? Bukankah semua pertemuan kita—bahkan yang paling permanen—pada dasarnya adalah “20 menit” jika dilihat dari perspektif eternitas? Dan jika demikian, mungkin pertanyaannya bukan bagaimana membuat “20 menit” menjadi “selamanya,” tetapi bagaimana membuat “20 menit” menjadi cukup. Teks ini menunjukkan kepada kita bahwa itu mungkin. Dan itu adalah gift filosofis yang luar biasa berharga.


Daftar Pustaka

Augé, M. (1995). Non-Places: Introduction to an Anthropology of Supermodernity. Verso.

Barthes, R. (1977). A Lover's Discourse: Fragments (R. Howard, Trans.). Hill and Wang.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press. (Original work published 1981)

Blanchot, M. (1982). The Space of Literature (A. Smock, Trans.). University of Nebraska Press. (Original work published 1955)

Camus, A. (1955). The Myth of Sisyphus and Other Essays (J. O'Brien, Trans.). Knopf. (Original work published 1942)

de Beauvoir, S. (1976). The Ethics of Ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press. (Original work published 1947)

Deleuze, G. (1994). Difference and Repetition (P. Patton, Trans.). Columbia University Press. (Original work published 1968)

Derrida, J. (1976). Of Grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dewey, J. (1938). Experience and Education. Kappa Delta Pi.

Foucault, M. (1986). "Of Other Spaces" (J. Miskowiec, Trans.). Diacritics, 16(1), 22-27. (Original work published 1967)

Freud, S. (1916). "On Transience". Dalam The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, Volume XIV.

Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books.

Heidegger, M. (1927/2010). Being and Time (J. Stambaugh, Trans.). State University of New York Press.

Illouz, E. (2007). Cold Intimacies: The Making of Emotional Capitalism. Polity Press.

Levinas, E. (1969). Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press. (Original work published 1961)

Lewis, D. (1986). On the Plurality of Worlds. Blackwell.

Marcel, G. (1951). Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope. Harper & Brothers.

Merleau-Ponty, M. (1945/2012). Phenomenology of Perception (D. A. Landes, Trans.). Routledge.

Nussbaum, M. C. (1990). Love's Knowledge: Essays on Philosophy and Literature. Oxford University Press.

Parfit, D. (1984). Reasons and Persons. Oxford University Press.

Proust, M. (1913-1927). À la recherche du temps perdu [In Search of Lost Time]. Grasset and Gallimard.

Sartre, J.-P. (1943/1992). Being and Nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Steiner, G. (1989). Real Presences. University of Chicago Press.

Turner, V. (1969). The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Aldine Publishing.

van Gennep, A. (1960). The Rites of Passage (M. B. Vizedom & G. L. Caffee, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1909)

Wittgenstein, L. (1922/1961). Tractatus Logico-Philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge & Kegan Paul.


Catatan Bio

Featured post

(Melancholy) - Cairan empedu hitam

Tadi pagi saya dapat invite sebuah quiz tentang "apakah kepribadianmu". Hasilnya adalah ... " Melankolik ( Melancholy ) - Ca...