Skip to main content

Featured post

Pagi Ini, Kita Bangun Lagi

Tilka Ad-Darul Akhirah - Itulah Negeri Akhirat

Itulah Negeri Akhirat

Tilka Ad-Darul Akhirah

Itulah Negeri Akhirat

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa."
(QS. Al-Qasas: 83)


Prolog: Percikan Cahaya

Subuh di kota metropolitan tidak pernah sunyi sepenuhnya. Namun di dalam masjid tua di persimpangan jalan protokol, keheningan terasa berbeda. Lebih dalam. Lebih menusuk.

Dua sosok duduk berjauhan. Seorang pria paruh baya di pojok kiri, mushaf terbuka di pangkuan. Seorang wanita di barisan depan, kepala tertunduk dalam doa yang panjang. Keduanya tidak saling kenal. Tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi pagi ini, keduanya membaca ayat yang sama.

Tilka ad-darul akhiratu naj'aluha lilladzina la yuriduna 'uluwwan fil ardhi wa la fasada...

Suara imam membaca ayat itu dengan pelahan. Seolah ingin setiap huruf meresap ke dalam dada mereka yang hadir. Pria paruh baya itu—namanya Arkan—menutup mushaf dengan perlahan. Matanya kosong, menatap mihrab. Wanita itu—Laras—mengusap air matanya dengan cepat, sebelum ada yang melihat.

Ini adalah kisah tentang dua manusia yang mencari jalan pulang. Jalan menuju negeri yang dijanjikan hanya bagi mereka yang tidak menginginkan ketinggian di bumi, dan tidak berbuat kerusakan. Tapi jalan itu tidak mudah. Karena kadang, manusia terlalu asyik membangun menara menuju langit, hingga lupa bahwa surga ada di tempat lain.


Bagian I: Uluww - Ketinggian yang Menjerat

Bab 1: Arkan - Sang Arsitek Langit

Lantai 52. Arkan berdiri di puncak gedung rancangannya yang terbaru. Kaca-kaca raksasa memantulkan cahaya senja. Di bawah sana, kota terlihat seperti miniatur. Manusia-manusia kecil bergerak seperti semut. Ia tersenyum tipis. Ini adalah pencapaiannya yang ke-12. Dua belas pencakar langit. Dua belas bukti bahwa anak kampung dari Garut bisa menaklukkan Jakarta.

"Bagus sekali, Pak Arkan," kata kliennya. "Namanya sudah terukir di lobby, kan?"

"Sudah, Pak. Plakat stainless steel dengan ukiran laser. Persis seperti yang Bapak minta."

Plakat. Namanya dalam huruf emas. ARKAN PUTRA WIBOWO, M.Arch - PRINCIPAL ARCHITECT. Setiap kali melewatinya, ada kepuasan kecil yang menggelitik dada. Setiap kali ada orang berfoto di depan plakat itu dan menandai akunnya di Instagram—500 ribu followers sekarang—ada validasi yang membuatnya merasa... penting.

"Dulu saya anak tukang bangunan," katanya pada diri sendiri, menatap pantulan wajahnya di kaca gedung. "Sekarang saya yang merancang gedung."

Tapi kenapa dadanya terasa sesak?

***

Seminggu kemudian, ada tamu tak terduga di kantornya. Seorang pria tua bersorban, berjubah putih lusuh. Arkan hampir tidak mengenalinya. Hampir.

"Ustadz Hadi?"

"Arkan, nak." Pria tua itu tersenyum. Senyum yang sama seperti dulu, ketika Arkan masih belajar mengaji di mushala kampung. "Alhamdulillah, Allah mudahkan saya menemukan kantormu."

Arkan melirik ke ruang tunggu. Asistennya menatap dengan bingung. Beberapa klien sedang menunggu. Ia membayangkan apa yang mereka pikirkan melihat guru ngaji kampungan duduk di sofa kantor yang mewah ini.

"Ustadz... ada perlu apa?" Arkan berbisik, berusaha terdengar ramah meski dalam hati berharap pertemuan ini cepat selesai.

"Tidak ada apa-apa, nak. Hanya ingin melihat anak didik saya yang sudah sukses." Ustadz Hadi mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah mushaf tua, sampulnya sudah pudar. "Ini. Dulu kau sering meminjam mushaf ini untuk mengaji. Sekarang saya berikan untukmu. Semoga engkau tidak lupa membacanya."

Arkan menerima mushaf itu dengan canggung. Tangannya terasa berat memegang buku tipis itu.

"Terima kasih, Ustadz."

Ketika Ustadz Hadi pergi, salah satu koleganya—seorang arsitek muda lulusan luar negeri—mendekat.

"Siapa itu, Kak Arkan? Kyai tamu?"

"Ah, bukan siapa-siapa. Cuma... kenalan lama."

Kenalan lama. Bukan guru. Bukan orang yang pernah mengajarinya membaca Al-Qur'an huruf demi huruf. Hanya kenalan lama.

Malam itu, di apartemennya yang menghadap Jakarta Pusat, Arkan membuka mushaf pemberian Ustadz Hadi. Jari-jarinya membuka halaman secara acak. Matanya jatuh pada sebuah ayat:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ...

Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di bumi...

Ketinggian.

Arkan menutup mushaf itu. Kepalanya pusing. Ia melihat keluar jendela. Gedung-gedung pencakar langit berdiri gagah. Salah satunya adalah karyanya. Namanya terukir di sana. Namanya bersinar dalam huruf emas.

Tapi kenapa ia merasa seperti membangun tembok antara dirinya dan Allah?

***

Proyek Islamic Center nasional. Tender paling bergengsi tahun ini. Arkan sudah mempersiapkan proposal selama tiga bulan. Desainnya sempurna—perpaduan arsitektur modern dengan kaligrafi klasik. Tapi ada satu pesaing: Dimas, juniornya sendiri.

Arkan melihat proposal Dimas secara diam-diam. Bagus. Sangat bagus. Bahkan mungkin lebih baik dari miliknya. Desain Dimas lebih inovatif, lebih ramah lingkungan, lebih...

Lebih baik.

Tapi Arkan tidak bisa kalah. Tidak dari junior. Tidak setelah ia membangun reputasi selama 15 tahun.

Maka dimulailah permainan kotor. Ia menelepon beberapa koneksi di panitia tender. Mengirim "hadiah" kepada pihak yang tepat—bukan suap, tentu saja, hanya corporate gift. Ia juga membisikkan beberapa hal tentang Dimas: bahwa juniornya itu tidak berpengalaman untuk proyek sebesar ini, bahwa dirinya pernah telat menyelesaikan proyek, bahwa...

Kebohongan demi kebohongan.

Arkan menang. Ketika pengumuman pemenang tender dibacakan, ia berdiri dengan senyum lebar. Semua orang bertepuk tangan. Dimas tersenyum pahit di pojok ruangan.

Tapi malam itu, Arkan tidak bisa tidur.

Dalam kegelapan kamarnya, ia bermimpi. Mimpi aneh yang membuatnya terbangun dengan keringat dingin. Ia bermimpi membangun menara yang sangat tinggi. Terus naik, naik, naik. Tapi setiap kali ia hampir mencapai puncak, menara itu runtuh. Ia jatuh. Jatuh ke jurang yang dalam. Dan dalam jatuhnya itu, ia mendengar suara:

"La yuriduna 'uluwwan fil ardhi..."

Mereka yang tidak menginginkan ketinggian di bumi.

Arkan terbangun, napasnya terengah-engah. Ia meraih ponselnya, membuka catatan yang pernah ia buat tentang tafsir ayat itu. Ada kutipan dari Sayyidina Ali radhiyallahu 'anhu yang pernah ia baca:

"Orang yang memiliki kemuliaan nasab dan kemampuan, namun tetap rendah hati di hadapan hamba Allah."

Kemuliaan dan kemampuan. Ia punya itu. Tapi rendah hati? Ia menatap plakat penghargaan yang berjajar di dinding kantornya. Ia menatap foto-foto dirinya bersama pejabat, selebriti, konglomerat. Ia menatap angka followers di Instagram.

Aku membangun gedung menuju langit, bisiknya dalam hati. Tapi aku membangun tembok antara aku dan Allah.

***

Subuh itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Arkan pergi ke masjid. Bukan masjid mewah dekat apartemennya. Tapi masjid tua di persimpangan jalan. Masjid yang sepi. Masjid yang sunyi.

Ia duduk di barisan belakang, membuka mushaf pemberian Ustadz Hadi. Membaca ayat yang terus menghantuinya.

Tilka ad-darul akhiratu naj'aluha lilladzina la yuriduna 'uluwwan fil ardhi...

Dan di pojok hatinya yang paling dalam, ia berbisik: "Ya Allah, aku telah membangun 12 gedung. Tapi aku lupa membangun jalan menuju-Mu."

Referensi dari Tafsir Al-Qasas Ayat 83 menjelaskan bahwa uluww (kesombongan) adalah sikap merasa lebih tinggi dari manusia lain dan meremehkan mereka. Dalam hadits shahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sebesar dzarrah (atom terkecil)." (HR. Muslim)

Bab 2: Laras - Sang Dokter Viral

Layar kamera menyala. Laras mengatur senyumnya di depan cermin. Makeup sempurna. Hijab rapi. Stetoskop tergantung di leher sebagai properti yang pas—dokter yang peduli.

"Ready?" tanya videografernya.

"Ready."

Aksi dimulai. Laras membagikan paket sembako kepada ibu-ibu di kampung kumuh. Senyum. Salam. Foto bersama. Semua terekam dengan sempurna. Tim media sosialnya sudah menyiapkan caption:

"Sedikit berbagi untuk saudara kita yang membutuhkan 🤲💕 Semoga bermanfaat. #DokterPeduli #BerbagiKebaikan"

Dua jam setelah diunggah: 15 ribu likes. Lima ribu komentar. Dua ribu followers baru.

Laras tersenyum puas. Engagement rate naik 12 persen. Sempurna.

"Dokter baik banget sih," tulis salah satu pengikutnya.

"Masha Allah, dokter cantik dan dermawan!"

"Semoga Allah membalas kebaikan dokter."

Tapi ada satu komentar yang membuat Laras berhenti scrolling:

"Amal itu untuk Allah atau untuk kamera?"

Laras menghapus komentar itu dengan cepat. Blokir akun. Selesai.

Tapi kalimat itu terus bergema di kepalanya. Untuk Allah atau untuk kamera?

***

Malam itu, Laras tidak bisa tidur. Ia teringat hadits yang pernah dipelajarinya di kuliah:

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ... رَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ...

"Sesungguhnya orang pertama yang akan dihisab pada hari kiamat adalah... seorang yang belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an, (namun ia melakukannya untuk riya'/pamer)..." (HR. Muslim)

Riya'. Penyakit hati yang paling halus. Paling berbahaya. Dalam Islam, riya' disebut sebagai syirik kecil—berbuat ibadah bukan karena Allah, tapi karena ingin dilihat manusia.

Laras menatap ponselnya. Akun Instagramnya penuh dengan foto-foto kegiatan sosial. Tapi berapa banyak dari kegiatan itu yang ia lakukan tanpa kamera? Berapa banyak yang benar-benar ia lakukan karena Allah?

Tidak ada.

Semuanya didokumentasikan. Semuanya diunggah. Semuanya untuk likes, komentar, followers.

***

Undangan datang. Konferensi internasional tentang layanan kesehatan masyarakat. Laras terpilih sebagai pembicara—tentu saja, ia punya 300 ribu followers, wajah yang dikenal, nama yang viral.

Ia melihat daftar pembicara lain. Ada nama yang familiar: dr. Mahmud, dokter senior yang sudah 30 tahun mengabdi di daerah terpencil. Tidak punya Instagram. Tidak pernah viral. Tapi karyanya nyata, dampaknya luar biasa.

Saat acara berlangsung, Laras mendapat standing ovation. Fotonya ada di mana-mana. Media meliput. Sementara dr. Mahmud duduk di barisan belakang, mendengarkan dengan tenang.

Setelah acara, Laras melihat dr. Mahmud sendirian di sudut ruangan. Seharusnya ia menyapa, menghormati senior. Tapi ada bagian dari dirinya yang merasa... superior. Ia yang viral. Ia yang dikenal. Bukan dr. Mahmud yang tua dan tidak terkenal itu.

Maka ia berlalu, berpura-pura tidak melihat.

Tapi dr. Mahmud melihatnya. Dan dalam tatapan mata tua itu, Laras melihat sesuatu yang membuatnya malu: belas kasihan.

***

Karma datang dengan cepat. Sebuah video lama bocor—Laras sedang marah-marah pada pasien kurang mampu yang tidak bisa bayar. Suaranya kasar. Kata-katanya menyakitkan. Video itu diambil diam-diam oleh perawat yang ia pecat tahun lalu.

Viral. Tapi kali ini bukan viral yang baik.

#DokterSombong trending di Twitter. Followers turun drastis. Komentar hate membanjiri setiap postingannya. Brand-brand yang kerja sama dengannya memutus kontrak.

Reputasi hancur dalam semalam.

Laras terduduk di lantai apartemennya, menatap ponsel dengan mata kosong. Semua yang ia bangun—nama baik, citra, followers—runtuh seperti istana pasir.

Dan di tengah kehancuran itu, ia teringat ayat yang pernah dibacanya:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ...

Negeri akhirat untuk mereka yang tidak menginginkan ketinggian di bumi.

Ia mencari ketinggian. Di mata manusia. Di media sosial. Di dunia yang fana ini. Dan sekarang, ia jatuh. Jatuh begitu dalam hingga tidak tahu harus bangun dari mana.

***

Laras mengunjungi guru ngajinya dulu, Ustadzah Aisyah. Perempuan tua yang hidup sederhana di rumah kontrakan. Tidak ada yang tahu bahwa Ustadzah Aisyah adalah hafizah 30 juz. Tidak ada yang tahu bahwa ia pernah mengajar di pesantren besar. Ia memilih hidup dalam kerendahan hati, mengajar anak-anak kampung tanpa bayaran.

"Ustadzah, saya... saya hancur."

Ustadzah Aisyah memeluknya. "Kadang Allah harus menghancurkan kita dulu, nak, sebelum membangun kita kembali."

"Tapi kenapa, Ustadzah? Saya kan berbuat baik? Saya membantu orang?"

"Membantu untuk siapa, nak?"

Pertanyaan sederhana yang menghancurkan semua pembelaan Laras. Ia terdiam. Tidak ada jawaban. Atau sebenarnya ada, tapi ia terlalu malu mengakuinya.

Ustadzah Aisyah membuka mushaf, membaca dengan suara lembut:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا

"Nak, dengarkah ini? Surga bukan untuk mereka yang mengejar ketinggian di mata manusia. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, uluww adalah sikap angkuh, sombong, dan sewenang-wenang terhadap makhluk Allah."

Laras menangis. Menangis untuk pertama kalinya dengan jujur. Bukan tangis untuk kamera. Bukan tangis untuk konten. Tapi tangis seorang hamba yang menyadari ia telah jauh tersesat.

"Ustadzah, saya jadi dokter untuk ibu saya. Tapi saya lupa... saya lupa untuk Allah."

Menurut penjelasan tentang tawadhu, sikap rendah hati adalah lawan dari kesombongan. Tawadhu berarti merendahkan diri dengan tidak merasa lebih baik dari orang lain, meskipun memiliki status atau kemampuan lebih tinggi.


Bagian II: Fasad - Kerusakan yang Merambat

Bab 3: Persilangan Jalan - Fasad Dimulai dari yang Kecil

Mereka bertemu dalam sebuah proyek. Rumah sakit swasta mewah di Jakarta Selatan. Arkan sebagai arsitek, Laras sebagai konsultan medis.

Pertemuan pertama di ruang rapat. Handshake profesional. Senyum bisnis. Tidak ada yang tahu bahwa keduanya sedang berjuang dengan dosa yang sama: kesombongan yang membuat mereka lupa untuk siapa mereka hidup.

Proyek berjalan. Tapi ada yang tidak beres.

Arkan tahu bahwa developer melakukan markup harga material hingga 40 persen. Material yang seharusnya grade A diganti dengan grade C. Struktur bangunan tidak sesuai standar gempa. Tapi developer memberinya komisi besar untuk diam. Sangat besar. Cukup untuk membeli apartemen baru.

Laras tahu bahwa alat-alat medis yang dibeli adalah KW—palsu, tidak tersertifikasi, berbahaya bagi pasien. Tapi ia mendapat fee konsultan yang luar biasa besar. Fee yang membuat ia bisa renovasi rumah orangtuanya.

Keduanya tahu. Keduanya diam.

"Bukan urusan saya," kata Arkan pada dirinya sendiri. "Saya cuma arsitek. Yang penting desain saya bagus."

"Itu urusan manajemen," kata Laras pada dirinya sendiri. "Saya cuma konsultan. Yang penting rekomendasi saya sudah saya berikan."

Tapi dalam Al-Qur'an, Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan."

Mereka tidak langsung berbuat kerusakan. Tapi mereka membiarkan kerusakan terjadi. Mereka diam ketika seharusnya bersuara. Mereka menerima uang ketika seharusnya menolak.

Ini adalah fasad—kerusakan yang dimulai dari hal kecil. Dari diam. Dari kompromi. Dari "bukan urusan saya".

Menurut tafsir, sebagaimana dijelaskan di TafsirWeb, fasad mencakup segala bentuk kerusakan, kezaliman, dan kemaksiatan. Bahkan membiarkan kerusakan terjadi termasuk dalam kategori fasad.

***

Pembukaan soft opening rumah sakit. Pita dipotong. Balon dilepas. Media meliput. Semua orang tersenyum.

Tiga jam kemudian, bencana terjadi.

Sebagian plafon lantai 3 runtuh. Seorang perawat tertimpa reruntuhan. Tulang punggungnya patah. Ia lumpuh seketika.

Investigasi dimulai. Media mengekspos. Markup terungkap. Material murahan terungkap. Alat medis palsu terungkap.

Nama Arkan dan Laras terseret. Keduanya dipanggil polisi. Keduanya dilaporkan ke organisasi profesi masing-masing.

Di ruang interogasi yang dingin, Arkan dan Laras duduk berhadapan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu.

"Saya tahu," bisik Laras pelan. "Saya tahu strukturnya bermasalah. Tapi saya diam."

"Saya juga," jawab Arkan. Suaranya serak. "Saya tahu materialnya tidak standar. Tapi saya diam."

Keduanya terdiam. Di antara mereka, ada kesadaran yang sama: mereka berdua sama. Sama-sama ingin tinggi di mata manusia. Sama-sama membiarkan kerusakan terjadi.

Malam itu, di sel tahanan sementara—karena kasus ini masuk ranah pidana—Arkan membaca mushaf yang dibawa petugas untuk tahanan muslim. Matanya jatuh pada ayat yang sama:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا

Wa la fasada. Dan tidak berbuat kerusakan.

Ia menangis. Untuk pertama kalinya sejak menjadi arsitek terkenal, ia menangis seperti anak kecil. Tidak ada yang melihat. Tidak ada kamera. Tidak ada yang perlu ia pamerkan. Hanya dia dan Allah.

Di sel sebelah, Laras juga menangis dengan cara yang sama.

***

Persidangan berlangsung selama enam bulan. Keduanya mengaku bersalah. Tidak ada pembelaan. Tidak ada mencari kambing hitam. Mereka mengaku: kami tahu, tapi kami diam.

Arkan kehilangan lisensi arsitek. Laras izin praktiknya dicabut untuk sementara. Keduanya didenda ratusan juta. Reputasi hancur. Karir tamat.

Tapi anehnya, di tengah kehancuran itu, ada kedamaian yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.

"Ini hukuman dunia," bisik Arkan saat vonis dibacakan. "Lebih baik dihukum di dunia daripada di akhirat."

Laras mengangguk. Ia teringat hadits Rasulullah ﷺ:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

"Tidaklah seorang muslim ditimpa kesusahan, penyakit, kesedihan, kedukaan, gangguan, ataupun duri yang menusuknya, melainkan Allah menghapus sebagian kesalahannya." (HR. Bukhari)

Di luar gedung pengadilan, hujan turun. Arkan dan Laras berjalan terpisah, tapi hati mereka merasakan hal yang sama: ini adalah awal pembersihan. Awal taubat. Awal jalan pulang.


Bagian III: Tilka Ad-Darul Akhirah - Jalan Pulang

Bab 4: Taubat dan Transformasi

Tiga tahun kemudian.

Arkan tidak lagi tinggal di apartemen mewah. Ia kembali ke kampung halamannya di Garut. Bekerja sebagai tukang bangunan biasa—pekerjaan ayahnya dulu. Membangun rumah-rumah sederhana untuk warga desa. Tidak ada plakat nama. Tidak ada Instagram. Tidak ada yang tahu bahwa ia dulu arsitek terkenal.

"Pak Arkan, kenapa tidak buka kantor lagi?" tanya salah satu warga. "Katanya dulu bapak terkenal?"

"Sudah cukup, Pak. Sekarang saya ingin membangun yang sederhana. Yang ikhlas."

Setiap Subuh, ia ke masjid. Membaca Surah Al-Qasas. Ayat 83 sudah ia hafal di luar kepala. Dan setiap kali membacanya, ia tersenyum—senyum yang damai.

***

Laras juga berubah. Ia membuka klinik kecil di daerah pelosok Nusa Tenggara Timur. Tempat yang tidak ada sinyal internet. Tidak ada yang mengenal namanya. Ia merawat pasien tanpa pamrih. Tanpa bayaran. Hanya karena Allah.

Tidak ada yang mengambil fotonya. Tidak ada yang viral. Tapi setiap malam, ia tidur dengan nyenyak. Hati tenang. Jiwa damai.

"Dokter, kenapa tidak praktik di Jakarta lagi?" tanya salah satu perawat.

"Sudah cukup, Nak. Dulu saya mencari ketinggian di mata manusia. Sekarang saya mencari ridha Allah."

***

Subuh di masjid tua yang sama. Tempat mereka pertama kali menyadari kesalahan mereka. Arkan duduk di barisan belakang. Laras di barisan depan.

Setelah shalat, mereka saling berpapasan tanpa sengaja.

"Assalamu'alaikum," sapa Arkan.

"Wa'alaikumussalam," jawab Laras.

Keduanya saling tersenyum. Tidak perlu banyak kata. Mereka memahami perjalanan masing-masing. Mereka tahu bahwa Allah telah merendahkan mereka berdua dulu, sebelum mengangkat mereka dengan cara yang berbeda.

"Masih ingat ayat itu?" tanya Arkan.

Laras mengangguk. "Setiap hari."

Mereka membaca bersama, pelan, seperti doa:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.

***

Imam masjid malam itu memberikan kajian. Topiknya kebetulan Surah Al-Qasas ayat 83-88. Arkan dan Laras duduk mendengarkan.

"Saudara-saudara," kata sang imam. "Ayat 84 memberikan kabar gembira:"

مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِّنْهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى الَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa membawa kebaikan, maka baginya balasan yang lebih baik. Dan barangsiapa membawa kejahatan, maka orang-orang yang mengerjakan kejahatan hanya dibalas (sesuai) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan."

"Saudara-saudara, dalam hadits Qudsi, Allah berfirman:"

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ

"Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun belum melakukannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan sempurna. Dan jika ia berniat lalu melakukannya, Allah mencatatnya sebagai 10 hingga 700 kali lipat kebaikan." (HR. Bukhari & Muslim)

"Lihat, saudara-saudara! Satu kebaikan dilipatkan 10 hingga 700 kali. Tapi satu kejahatan? Hanya dihitung satu. Bahkan bisa diampuni jika kita bertaubat. Ini adalah kasih sayang Allah yang luar biasa!"

Arkan dan Laras saling melirik. Mata mereka berkaca-kaca. Masih ada harapan. Masih ada kesempatan. Allah masih membuka pintu taubat. Allah masih mau menerima mereka.

***

Imam melanjutkan:

"Dan ayat 85 adalah penghiburan bagi Nabi Muhammad ﷺ, dan juga untuk kita semua:"

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ

"Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (yang terbaik)."

"Ma'ad ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagai surga. Allah berjanji akan mengembalikan kita ke tempat yang terbaik—jika kita berkomitmen pada Al-Qur'an, pada jalan-Nya."

Tempat kembali. Jalan pulang. Negeri akhirat.

Arkan tersenyum. Ia teringat perjalanannya: dari kampung, naik ke puncak gedung pencakar langit, jatuh ke jurang, lalu kembali ke kampung. Tapi kali ini berbeda. Ia tidak jatuh. Ia turun dengan sadar. Ia memilih untuk rendah, karena ia tahu—ketinggian yang sejati ada di sisi Allah, bukan di mata manusia.

Laras juga tersenyum. Ia teringat followers yang hilang, reputasi yang hancur, viral yang sirna. Tapi sekarang ia paham: semua itu fana. Yang kekal hanya Allah.

***

Imam mengakhiri kajian dengan ayat terakhir dari perikop ini:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ ۚ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

"Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah (Zat-Nya). Bagi-Nya segala penentuan, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (QS. Al-Qasas: 88)

"Saudara-saudara, ayat ini bukan hanya tentang kehancuran segala sesuatu di akhir zaman. Ini juga tentang kehancuran amal kita. Semua amal kita akan sirna—kecuali yang dilakukan dengan ikhlas, semata-mata mengharap wajah Allah. Illa wajhahu—kecuali wajah-Nya. Hanya yang dilakukan karena Allah yang akan kekal."

Arkan dan Laras menunduk. Mereka paham sekarang. Gedung-gedung yang dibangun akan runtuh. Followers akan hilang. Viral akan berlalu. Semuanya akan binasa.

Yang kekal hanya amal yang ikhlas. Yang kekal hanya wajah Allah.

Menurut penjelasan dalam Tafsir Al-Qasas ayat 88, frasa "illa wajhahu" bukan hanya bermakna Zat Allah yang kekal, tetapi juga amalan yang dikerjakan semata-mata karena mengharap wajah Allah (ikhlas).


Epilog: Wajah yang Kekal

Sepuluh tahun kemudian.

Arkan sudah beruban. Tangannya kasar penuh kapalan—tangan tukang bangunan. Ia tidak lagi membangun gedung pencakar langit. Ia membangun rumah-rumah sederhana, masjid-masjid kecil, sekolah-sekolah di desa.

Laras juga sudah beruban. Wajahnya keriput terkena matahari. Ia tidak lagi tampil di media. Tidak ada yang mengenalnya. Tapi ratusan anak di pelosok negeri hidup karena pengobatan gratisnya.

Mereka bertemu lagi di masjid yang sama. Subuh Ramadan. Udara dingin. Langit mulai terang.

"Assalamu'alaikum, Pak Arkan," sapa Laras. Mereka sudah tahu nama masing-masing sekarang. Sudah sering berpapasan di kajian-kajian.

"Wa'alaikumussalam, Bu Laras. Masih setia datang ke masjid ini?"

"Selalu. Ini masjid tempat saya pertama kali sadar."

"Saya juga."

Mereka duduk berdampingan—tidak ada lagi jarak sombong, tidak ada lagi tembok ego. Hanya dua hamba Allah yang pernah tersesat, lalu menemukan jalan pulang.

"Pak Arkan tahu tidak," kata Laras pelan. "Dulu saya punya 300 ribu followers. Sekarang akun Instagram saya cuma 200 followers. Isinya cuma dzikir dan doa. Tidak ada foto saya. Tidak ada konten."

"Alhamdulillah," jawab Arkan tulus. "Berarti Bu Laras sudah tidak mencari ketinggian di dunia maya."

Laras tersenyum. "Dulu saya takut tidak dikenal. Sekarang saya bersyukur tidak dikenal. Karena saya tahu, Allah mengenal saya. Itu sudah cukup."

Arkan mengangguk. "Dulu saya ingin namaku terukir di gedung-gedung. Sekarang saya berharap namaku terukir di sisi Allah. Itu lebih kekal."

Mereka terdiam. Di kejauhan, adzan Subuh berkumandang. Suara muadzin melantunkan kalimat yang indah:

"Ash-shalatu khairun minan naum..."
Shalat lebih baik daripada tidur...

Ya. Lebih baik menghadap Allah daripada tidur dalam kelalaian. Lebih baik rendah di hadapan-Nya daripada tinggi di mata manusia.

***

Setelah shalat, Arkan membuka mushaf lamanya—pemberian Ustadz Hadi yang sudah meninggal tiga tahun lalu. Ia membaca ayat yang sudah menjadi bagian dari jiwanya:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Laras membaca bersama, suaranya berbisik:

"Itulah negeri akhirat yang dijadikan untuk mereka yang tidak menginginkan ketinggian di bumi dan tidak berbuat kerusakan. Dan kesudahan yang baik untuk orang-orang yang bertakwa."

Mereka tidak tahu apakah akan masuk surga. Tidak ada yang tahu. Tapi mereka tahu satu hal dengan pasti:

Surga bukan untuk yang sombong dan merusak. Surga untuk yang rendah hati dan memperbaiki.

***

Cahaya pagi mulai menerobos jendela masjid. Debu-debu beterbangan dalam sinar emas. Arkan dan Laras bangkit, bersiap pulang. Tapi sebelum keluar, Laras bertanya:

"Pak Arkan, ada pesan untuk generasi muda?"

Arkan tersenyum. "Jangan mengejar ketinggian di mata manusia. Karena apa yang tinggi di mata manusia, belum tentu tinggi di mata Allah. Kejar kerendahan hati. Karena Allah meninggikan orang yang merendahkan diri karena-Nya."

"Dan Bu Laras?"

"Jangan berbuat baik untuk kamera. Lakukan karena Allah. Karena likes akan hilang, followers akan pergi, tapi pahala dari Allah kekal. Dan ingat—satu kebaikan ikhlas, Allah balas 10 hingga 700 kali lipat."

Mereka berjabat tangan, lalu berpisah. Arkan ke timur, Laras ke barat. Tapi hati mereka menuju arah yang sama: kepada Allah, Tuhan Yang Maha Tinggi, Yang Maha Melihat, Yang Maha Kekal.

***

Di langit, burung-burung terbang rendah. Tidak menuju ketinggian yang sombong, tapi ke sarang mereka—tempat mereka kembali. Tempat mereka pulang.

Dan dalam kerendahan hati mereka, Arkan dan Laras menemukan jalan pulang.

Jalan menuju Tilka ad-darul akhirah.

Jalan menuju negeri akhirat.

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

"Segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya."

***TAMAT***


Renungan Penutup

Kisah Arkan dan Laras adalah cerminan dari banyak dari kita yang hidup di zaman modern ini. Kita terjebak dalam mengejar ketinggian di mata manusia—likes, followers, jabatan, gelar, pengakuan. Kita lupa bahwa semua itu fana. Yang kekal hanya Allah dan amal yang ikhlas.

Surah Al-Qasas ayat 83 memberikan kita syarat yang jelas untuk meraih surga: tidak menginginkan ketinggian (uluww) di bumi dan tidak berbuat kerusakan (fasad). Kedua hal ini saling berkaitan. Kesombongan membuat kita merasa berhak melakukan apa saja, termasuk kerusakan. Dan kerusakan dimulai dari hal kecil—dari diam ketika seharusnya bersuara, dari kompromi ketika seharusnya tegas.

Tapi kabar baiknya, ayat 84 mengingatkan kita bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah. Satu kebaikan dibalas 10 hingga 700 kali lipat. Satu kejahatan hanya dihitung satu, bahkan bisa diampuni jika kita bertaubat.

Jadi, tidak ada kata terlambat untuk kembali. Tidak ada kata terlambat untuk merendahkan diri. Tidak ada kata terlambat untuk meninggalkan kesombongan dan kerusakan.

Karena pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada-Nya. Dan di hadapan-Nya, yang akan kekal hanya amal yang ikhlas—amalan yang dilakukan semata-mata mengharap wajah-Nya.

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu." (QS. Asy-Syu'ara: 215)

Semoga kita semua menjadi penghuni Tilka ad-darul akhirah.
Amin ya Rabbal 'alamin.


Referensi & Bacaan Lanjutan:

Popular Posts