Featured post
- Get link
- X
- Other Apps
Ketika Kata-Kata Orang Lain Menjadi Cermin yang Kita Hindari
Ketika Kata-Kata Orang Lain Menjadi Cermin yang Kita Hindari
Sebuah percakapan dengan tulisan, dengan diri sendiri
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam ketika saya membuka laptop. Di luar, hujan gerimis—selalu hujan di kota ini ketika saya mencoba menghadapi sesuatu yang tidak ingin saya hadapi. Browser terbuka. Timeline media sosial mengalir. Dan kemudian ada tautan itu, muncul dari seseorang yang jarang saya ajak bicara: "Sembilan Cangkir dan Percakapan yang Belum Selesai."
Saya tidak langsung mengklik. Jari saya menggantung di atas trackpad. Ada sensasi aneh—seperti menatap pintu yang belum tentu ingin saya buka. Judul itu saja sudah cukup membuat perut saya tidak nyaman. Percakapan yang belum selesai. Seolah-olah tulisan itu sudah tahu tentang D, tentang tiga bulan lalu, tentang keheningan yang masih bergema di kepala saya setiap kali ponsel berbunyi dan bukan nama D yang muncul di layar.
Tapi saya klik juga.
Karena itulah yang kita lakukan dengan rasa takut, bukan? Kita memberinya makan. Kita membukakan pintu. Kita bilang, "Silakan masuk, sudah lama saya menunggu."
Paragraf pertama bicara tentang tarot. Tentang tiga kartu: Eight of Swords, Knight of Cups, Nine of Cups. Saya tidak percaya tarot—tidak percaya bahwa kartu bisa membaca masa depan atau membongkar rahasia jiwa. Tapi Penulis—sebut saja dia Penulis, karena saya tidak yakin siapa dia dan tidak yakin ingin tahu—tidak bicara tentang meramal. Dia bicara tentang cermin.
"Ada perbedaan antara melihat masa depan dan mengakui masa lalu yang belum selesai kita proses," tulis dia. Dan saya berhenti membaca. Bukan karena kalimatnya buruk. Tapi karena terlalu jujur.
Saya pikir ini akan jadi bacaan ringan sebelum tidur. Saya salah.
Penulis membangun narasinya dalam tiga babak. Seperti drama Yunani. Seperti perjalanan yang tidak bisa Anda hindari begitu Anda masuk ke dalam mobil. Eight of Swords adalah kandang. Knight of Cups adalah undangan. Nine of Cups adalah kepenuhan yang kosong. Tiga tahap yang entah kenapa terasa seperti tiga tahap kehidupan yang sedang saya jalani, meski saya bersikeras pada diri sendiri bahwa ini hanya kebetulan.
Saya bisa saja menutup tab itu.
Saya bisa saja bilang, "Nanti saja."
Saya bisa saja—
Tapi saya tidak menutupnya.
Dan di situlah masalahnya dimulai. Ketika kata-kata orang lain menjadi cermin yang Anda hindari, tapi Anda tetap menatapnya. Ketika Anda tahu—dengan sensasi tubuh yang tidak bisa dibohongi—bahwa tulisan ini bukan tentang tarot. Ini tentang hal lain. Tentang sesuatu yang belum saya siap untuk sebut namanya.
Kandang yang Kita Bangun dari Takut
Penulis tidak menjelaskan simbolisme kartu dengan cara yang menjengkelkan seperti kebanyakan artikel pengembangan diri. Dia tidak bilang, "Eight of Swords berarti X, jadi Anda harus melakukan Y." Dia membiarkan Eight of Swords muncul lewat cerita—lewat momen duduk di dapur jam dua pagi, lewat motor yang lewat dan suaranya menjauh, lewat gelas yang berembun dan tidak tersentuh.
Dan saya pikir: ini cara yang jujur untuk bicara tentang ketakutan.
Karena ketakutan tidak datang dengan label. Dia datang dengan detail. Dengan jam digital yang menunjukkan 02:17, bukan "tengah malam." Dengan cincin coklat kering di dasar gelas kopi. Dengan suara dengung kulkas yang tiba-tiba terasa terlalu keras di keheningan malam.
Eight of Swords, menurut tradisi tarot, menggambarkan seorang wanita yang matanya tertutup, dikelilingi oleh delapan pedang yang ditancapkan ke tanah. Tapi—dan ini yang membuat kartu itu mengganggu—pedang-pedang itu tidak benar-benar mengurungnya. Ada celah. Ada jalan. Dia bisa saja melangkah keluar.
Tapi dia tidak melakukannya.
Penulis bertanya: "Apa bedanya penjara dengan rumah, jika kita sendiri yang memasang kuncinya?"
Ketika saya membaca kalimat itu, saya langsung ingat D. Bukan ingat dalam arti nostalgia—seperti melihat foto lama dan tersenyum dengan hangat. Ingat dalam arti: tubuh saya tegang. Perut saya kram sedikit. Napas saya pendek.
Percakapan terakhir kami tiga bulan lalu tidak berakhir dengan pertengkaran. Tidak ada drama besar. Tidak ada pintu yang dibanting. Hanya ada—tidak ada. Saya bilang saya sibuk. D bilang, "Oke, nanti saja." Dan kemudian "nanti" itu tidak pernah datang. Atau mungkin datang, tapi kami berdua sudah terlalu lelah untuk mengetuk pintu lagi.
Penulis menulis tentang percakapan yang tidak selesai membangun pedang-pedang di sekeliling kita. "Setiap kali ada undangan, saya akan mengingat bahwa tidak semua undangan berakhir dengan kepulangan." Dan saya paham. Saya paham kenapa sejak kejadian dengan D, saya selalu menolak ajakan makan malam. Bukan karena sibuk. Karena saya sudah terlalu terlatih untuk mengantisipasi kehilangan.
Sejak kapan saya mulai hidup seperti ini? Bangun pagi, bekerja, menghindari percakapan tertentu, tidur, ulangi. Dua tahun—mungkin lebih—dalam pola yang sama. Bukan karena tidak ada pilihan. Bukan karena dunia menutup semua pintu. Tapi karena lebih mudah untuk percaya bahwa saya tidak punya pilihan daripada mengakui bahwa saya takut memilih.
Saya tidak pernah bilang pada D—
tidak pernah bilang bahwa yang saya takutkan bukan dia pergi.
Yang saya takutkan adalah: saya akan jadi orang yang membuat dia ingin pergi.
Ada malam ketika Penulis duduk di dapur—jam menunjukkan pukul 2:17 dini hari, dia catat detailnya dengan presisi yang nyaris obsesif—dan menyadari bahwa dia tidak ingat kapan terakhir kali dia tertawa tanpa merasa bersalah setelahnya. Bersalah karena tertawa ketika ada seseorang yang mungkin masih dia sakiti. Bersalah karena bahagia ketika cerita di kepala masih mengatakan dia tidak berhak.
Saya tahu sensasi itu. Terlalu tahu.
Minggu lalu, saya tertawa ketika menonton video bodoh di internet. Hanya tertawa—tidak ada yang istimewa. Tapi lima detik kemudian, ada suara di kepala yang bertanya: "Apakah D masih memikirkan kamu? Apakah D masih sakit? Dan kamu di sini tertawa seperti tidak ada yang terjadi?"
Apa yang terjadi ketika kita sadar bahwa kandang yang kita rasakan selama ini adalah konstruksi kita sendiri? Apakah itu membuat kita bebas—atau justru lebih terjebak, karena sekarang kita tidak punya siapa-siapa untuk disalahkan?
Penulis tidak memberi jawaban. Dia hanya duduk di dapur itu, menatap gelas yang berembun, mendengar motor yang lewat dan suaranya menjauh. Dan saya duduk di kamar saya, pukul sebelas malam, laptop di pangkuan, hujan masih gerimis di luar, dan saya menyadari: saya sedang membaca tentang diri saya sendiri.
Atau mungkin saya hanya sedang mencari validasi bahwa saya tidak sendirian dalam kecemasan ini. Mungkin itulah kenapa kita membaca—untuk merasa kurang gila.
Undangan dari Orang Asing yang Mengenakan Kebaikan
Di bagian kedua, Penulis memperkenalkan seseorang—sebut saja A. Bukan dengan pengenalan dramatis. Tidak ada musik latar. Hanya pertanyaan sederhana: "Kamu baik-baik saja?"
Dan pertanyaan sederhana itu menjadi menakutkan karena membutuhkan jawaban jujur.
Ada yang cerdas dalam cara Penulis menggambarkan A—dia tidak membuat A sebagai "penyelamat." A hanya seseorang yang bertanya, yang mengajak kopi, yang mengirim rekomendasi buku, yang menawarkan jalan sore sambil tidak ngomong apa-apa kalau perlu. Undangan yang diulang-ulang sampai Penulis kehabisan alasan untuk menolak.
Knight of Cups, dalam tradisi tarot, adalah kartu undangan—seseorang yang membawa cangkir, simbol emosi dan intuisi, dan berkata: "Ini untukmu. Kalau kamu mau." Tidak memaksa. Tidak menuntut. Hanya menunggu.
Dua minggu lalu, R mengajak saya jalan sore. Kami duduk di bangku taman. Tidak bicara banyak. Hanya duduk, menonton orang-orang lewat, mendengar suara anak-anak bermain di kejauhan. Dan tiba-tiba R bertanya, "Kenapa kamu selalu terlihat seperti sedang bersiap untuk lari?"
Saya tidak tahu harus jawab apa. Karena jawabannya terlalu panjang. Karena jawabannya adalah: aku takut kalau aku tinggal terlalu lama, kamu akan melihat semua bagian yang rusak. Aku takut kalau aku membiarkan diri sendiri percaya bahwa kamu akan tetap ada, kamu akan pergi seperti D pergi—tanpa penjelasan, tanpa penutupan, hanya keheningan yang bergema.
Jadi saya bilang, "Aku tidak tahu."
Kebohongan kecil. Atau mungkin bukan kebohongan. Mungkin saya memang tidak tahu—tidak tahu cara menjelaskan tanpa membongkar seluruh arsip luka yang sudah saya kubur rapi.
Penulis menulis tentang skeptisisme zaman kita: "Kita hidup di era di mana kebaikan dianggap punya motif tersembunyi." Dan dia benar. Saya ingin percaya bahwa R datang tanpa agenda. Tapi bagian dari saya yang sudah terlalu sering patah terus berbisik: tunggu saja. Tunggu sampai dia bosan. Tunggu sampai dia sadar bahwa kamu terlalu rumit, terlalu rusak, terlalu banyak pekerjaan.
Di tulisan Penulis, ada adegan di teras kafe setelah hujan. A dan Penulis duduk di sana, memesan kopi—A pesan kopi hitam, Penulis pesan teh karena masih belum percaya pada diri sendiri untuk memegang sesuatu yang terlalu kuat. Dan A bertanya: "Kenapa kamu selalu terlihat seperti sedang menunggu sesuatu yang buruk terjadi?"
Penulis tidak bisa menjawab. Karena tahu terlalu banyak jawaban, dan tidak satupun yang bisa diucapkan tanpa membongkar semuanya.
Saya tahu sensasi itu. R bertanya hampir hal yang sama minggu lalu. Dan saya hanya bisa diam, menatap rerumputan di taman, menghitung detik sampai pertanyaan itu lewat.
R tidak mendesak. Hanya mengangguk. Dan entah kenapa, itu membantu.
Tapi ada yang mengganggu—bayangan D yang muncul di pinggiran pikiran setiap kali saya bersama R. Seperti hantu yang tidak berisik tapi tetap terasa. Setiap kali R tertawa, saya ingat cara D tertawa—kepala sedikit menengadah, mata menyipit, suara lebih keras dari yang dia sadari. Setiap kali R diam dengan nyaman, saya ingat keheningan terakhir dengan D—keheningan yang tidak nyaman, yang terasa seperti ruangan yang kehabisan oksigen.
Apakah menerima R berarti mengkhianati ingatan tentang D?
Pertanyaan absurd, karena D sudah tidak ada di sini. D sudah memilih untuk tidak ada di sini.
Tapi hati tidak peduli logika. Hati hanya tahu bahwa dia pernah menyimpan seseorang terlalu lama, dan sekarang tidak tahu cara melepaskan tanpa merasa seperti membunuh bagian dari diri sendiri.
Kapan tepatnya seseorang berhenti jadi bayangan dan mulai jadi kenangan biasa? Kapan kita tahu bahwa kita sudah boleh membuka pintu lagi tanpa merasa seperti kita menginjak sesuatu yang suci?
Penulis tidak memberi jawaban untuk pertanyaan itu. Dia hanya menulis: "Knight of Cups masih ada. A masih mengirim pesan. Tapi sekarang saya tahu: ia bukan pengganti. Ia hanya jembatan."
Dan saya berpikir: mungkin R juga jembatan. Bukan tujuan. Hanya jembatan dari tempat saya berdiri—terkurung di Eight of Swords—ke tempat lain yang belum saya kenali namanya.
Dan mungkin itu cukup. Atau mungkin tidak. Tapi setidaknya sekarang saya berdiri di jembatan, bukan di kandang.
Cangkir Kesembilan yang Tidak Pernah Penuh
Bagian ketiga adalah yang paling mengganggu. Karena Penulis bicara tentang paradoks yang saya hidupi tapi tidak ingin saya akui: mendapatkan semua yang "seharusnya" membuat bahagia, tapi merasa kosong.
"Saya mendapatkan semua yang saya minta. Dan sekarang saya tidak yakin apa yang saya inginkan."
Nine of Cups disebut kartu keinginan terpenuhi. Dalam gambar kartu, ada pria yang duduk dengan sembilan cangkir tersusun rapi di belakangnya, tangan terlipat, ekspresi puas. Dia terlihat seperti seseorang yang baru saja menang.
Tapi Penulis bertanya: "Dan kemudian apa?"
Yang paling saya kagumi dari bagian ini adalah Penulis tidak mencoba memberi solusi. Dia tidak bilang, "Dan akhirnya saya mengerti arti kebahagiaan." Dia membiarkan ambiguitas tetap mengambang—dan itu terasa lebih jujur daripada penutupan palsu yang sering dijual oleh buku-buku pengembangan diri.
Tiga bulan setelah Knight of Cups, hidup Penulis—di atas kertas—sangat baik. Pekerjaan stabil. Hubungan dengan A berkembang jadi sesuatu yang hangat dan aman. Bahkan tidur lebih baik.
Tapi ada momen-momen kosong. Bukan kosong yang dramatis. Hanya datar. Seperti menonton film yang ending-nya sudah ditebak. Seperti makan makanan favorit tapi lidah tidak merasakan apa-apa.
Apakah saya sudah sampai di titik Nine of Cups? Atau saya masih di Eight of Swords, mengira saya sudah di Nine of Cups?
Saya mengecek hidup saya sendiri: pekerjaan? Stabil. Kesehatan? Oke. Hubungan? Ada R yang baik, yang sabar, yang tidak mendesak. Tapi ada rasa datar yang tidak bisa saya jelaskan. Seperti hidup saya sudah di jalur yang benar, tapi saya tidak merasakan apa-apa tentang jalur itu.
Minggu lalu, saya bangun pukul enam pagi—matahari baru mulai naik, udara masih dingin, burung-burung mulai berkicau di luar jendela. Pagi yang sempurna untuk merasa hidup. Tapi saya tidak merasakan apa-apa. Hanya bangun, mandi, siap-siap kerja. Rutinitas yang sama. Dan saya tidak ingat kapan terakhir saya bangun dan langsung merasa ingin sesuatu. Bukan butuh. Bukan "harus." Tapi ingin—dengan cara yang irasional dan hidup.
Penulis menggunakan konsep dukkha dari Buddhisme—sebuah kata yang sering diterjemahkan sebagai "penderitaan," tapi makna yang lebih akurat adalah "ketidakpuasan yang melekat pada eksistensi." Bukan karena hidup selalu buruk, tapi karena bahkan ketika hidup baik, ada sensasi halus bahwa ini tidak akan bertahan.
Dan itu adalah paradoks Nine of Cups. Penulis menulis: "Ia berkata: 'Ini yang kamu mau, kan?' Dan kamu terpaksa menjawab: 'Iya. Tapi kenapa rasanya seperti ada yang hilang?'"
Saya tahu persis apa yang hilang. Atau lebih tepatnya, siapa. Tapi mengakui itu terasa seperti pengkhianatan—pada R, pada diri sendiri, pada semua usaha untuk "move on" yang sudah saya lakukan tiga bulan terakhir.
Di tulisan Penulis, ada momen di teras yang sama—tempat pertama kali A bertanya kenapa dia selalu terlihat menunggu hal buruk. Sekarang hujan lagi. A di sebelahnya, membaca ponsel, tertawa pelan. Keheningan mereka tidak canggung. Dan tiba-tiba Penulis ingat B—orang yang hilang enam bulan lalu tanpa penjelasan.
Tapi bukan ingat dengan cara yang menyakitkan. Hanya ingat. Ingat cara B memesan kopi (double shot, tanpa gula, selalu dengan sedikit komplain tentang barista yang terlalu ceria). Ingat cara B tertawa (kepala menengadah, mata menyipit, suara lebih keras dari yang disadari). Ingat bagaimana percakapan mereka tidak pernah selesai—karena selalu punya sesuatu lagi untuk dibicarakan, sampai suatu hari tidak punya lagi.
Dan Penulis menyadari: "Saya tidak kehilangan B. Saya kehilangan narasi yang saya bangun tentang B."
Kalimat itu menohok saya seperti pukulan yang terlambat saya sadari. Karena mungkin saya juga tidak kehilangan D. Saya kehilangan cerita yang saya ceritakan pada diri sendiri tentang D. Cerita di mana D adalah orang yang memahami saya. Cerita di mana kami akan menemukan cara untuk bicara lagi. Cerita di mana akhirnya ada penutupan.
Tapi D tidak hidup dalam cerita saya. D hidup di kehidupannya sendiri, dengan ceritanya sendiri, di mana mungkin saya hanya footnote kecil yang sudah lama terlupakan.
Dan menerima itu—menerima bahwa saya tidak punya hak atas cerita D lagi—terasa seperti melepaskan sesuatu yang sudah jadi bagian dari identitas saya.
Kita suka berpikir bahwa cinta adalah tentang orang. Tapi sering kali, cinta adalah tentang cerita yang kita ceritakan pada diri sendiri tentang orang itu. Dan ketika cerita itu runtuh, yang tersisa adalah: siapa mereka sebenarnya? Atau lebih tepatnya, siapa kita tanpa cerita itu?
Penulis menulis tentang belajar hidup dengan ketidaklengkapan. Tentang menerima bahwa bisa punya delapan cangkir yang penuh, dan satu yang kosong, dan itu bukan kegagalan—itu hanya kenyataan.
Saya tidak tahu apakah suatu hari saya akan benar-benar melepaskan D. Saya tidak tahu apakah R akan tetap ada tahun depan. Saya tidak tahu apakah saya akan pernah merasa "cukup."
Tapi mungkin—hanya mungkin—tidak tahu itu adalah bagian dari prosesnya.
Mungkin kebahagiaan bukan tentang tidak punya luka. Mungkin tentang berdamai dengan fakta bahwa beberapa cangkir akan selalu kosong. Bahwa beberapa percakapan tidak akan pernah selesai. Bahwa beberapa orang akan jadi bayangan yang tidak pernah benar-benar pergi.
Dan kita tetap berjalan. Kita tetap membuka cangkir baru, meski takut tumpah. Kita tetap menerima undangan, meski tidak tahu kemana itu akan berujung.
Kembali ke Layar, Kembali ke Diri
Saya menutup tab browser. Jam menunjukkan pukul setengah satu pagi. Hujan sudah berhenti, tapi jalanan masih basah—saya bisa melihat pantulan lampu jalan di aspal dari jendela kamar.
Ada cangkir teh di sebelah kiri saya. Sudah dingin. Saya tidak ingat kapan membuatnya. Cincin kecoklatan mengering di dasarnya—sama seperti gelas yang Penulis gambarkan di tulisannya. Detail kecil yang membuat saya sadar: kita semua hidup dengan gelas-gelas yang tidak tersentuh, dengan keheningan-keheningan yang tidak terisi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.
Apa yang sebenarnya terjadi ketika kita membaca tulisan orang lain dan menemukan diri kita di sana? Apakah itu berarti penulis memang jago, atau kita memang sedang mencari cermin?
Atau mungkin pertanyaannya bukan tentang penulis atau pembaca. Mungkin tentang momen ketika kata-kata—entah siapa yang menulisnya—bertemu dengan kebutuhan kita untuk dimengerti. Dan dalam pertemuan itu, sesuatu yang tadinya buram menjadi sedikit lebih jelas.
Bukan terang. Hanya sedikit lebih jelas.
Saya tidak bisa bilang bahwa setelah membaca tulisan itu, saya langsung menghubungi D. Saya tidak. Saya bahkan tidak yakin saya akan melakukannya besok, atau minggu depan, atau bulan depan.
Tapi ada sesuatu yang berbeda. Bukan perubahan besar. Hanya kesadaran kecil bahwa mungkin saya tidak harus memilih antara melindungi diri atau membuka diri. Mungkin saya bisa melakukan keduanya—perlahan, hati-hati, dengan banyak jeda dan keraguan.
Besok saya mungkin akan membalas pesan R.
Atau tidak.
Besok saya mungkin akan menulis surat untuk D yang tidak akan pernah saya kirim.
Atau saya akan menghapusnya sebelum selesai.
Besok adalah besok.
Dan hari ini—hari ini saya sudah membaca.
Dan membaca, kadang, adalah langkah pertama yang cukup.
Di luar, jalanan sudah sepi. Tidak ada motor yang lewat. Tidak ada suara apa-apa kecuali dengung kulkas di dapur—suara yang sama yang Penulis dengar di jam 2:17 pagi itu, suara yang mengingatkan kita bahwa kita masih hidup, bahwa rumah masih berdiri, bahwa besok akan datang mau kita siap atau tidak.
Saya menutup laptop.
Dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, saya tidak merasa seperti menutup sesuatu yang belum selesai.
Hanya menutup. Sementara. Sampai besok.
Sampai saya siap untuk membuka lagi.
- Get link
- X
- Other Apps
