Skip to main content

Featured post

Pagi Ini, Kita Bangun Lagi

Pria yang Membawa Keheningan

Pria yang Membawa Keheningan

Pria yang Membawa Keheningan

I. Aperture

Pukul sebelas malam di sebuah kafe yang akan ditutup minggu depan. Hujan turun sejak maghrib, membasahi kaca jendela hingga pandangan ke luar menjadi kabur—seperti melihat dunia lewat air mata orang lain. Aku duduk di meja sudut, yang sama dengan yang selalu kupilih tiga tahun terakhir, menghadap pintu masuk yang tidak akan dimasuki siapa pun lagi malam ini.

Barista—perempuan berusia dua puluh sekian dengan tato bulan sabit di pergelangan tangan—sedang membersihkan mesin espresso dengan gerakan mekanis. Suara kulkas tua berdengung seperti mantra. Lampu neon di sudut kanan berkedip setiap tujuh detik; aku sudah menghitungnya. Di pojok seberang, seorang pria tua membaca koran yang tampak menguning. Aku bisa melihat tanggalnya dari sini: 15 Agustus 2003.

Aku datang ke sini bukan untuk bertemu siapa-siapa. Aku datang untuk mengingat seseorang yang tidak pernah aku kenal.

Kopi di cangkirku sudah dingin sejak setengah jam lalu. Tapi aku tidak memintanya dipanaskan. Ada sesuatu yang jujur tentang kopi dingin—ia tidak berpura-pura menjadi apa yang bukan dirinya. Seperti keheningan yang mengisi ruangan ini. Bukan keheningan yang canggung. Bukan keheningan yang menunggu untuk diisi. Tapi keheningan yang padat, seperti benda yang memiliki berat sendiri.

Aku pernah membaca di suatu tempat: kehadiran sejati bukan soal seberapa keras kamu berbicara, tapi seberapa dalam kesunyian yang kamu bawa.

Pria tua di pojok melipat korannya. Meninggalkannya di meja. Berdiri dengan perlahan, mengambil payung hitam yang tersandar di dinding, lalu pergi tanpa sepatah kata. Tidak ada bunyi bel pintu. Tidak ada bunyi apa pun. Seolah dia tidak pernah ada di sana sejak awal.

Aku menatap koran yang ditinggalkannya. Tapi tidak beranjak untuk mengambilnya.

Belum.

II. Fragment – Pak Harto

Aku berusia enam belas tahun ketika pertama kali melihat seseorang yang bisa menghentikan kerusuhan hanya dengan berdiri diam.

Pak Harto mengajar Biologi di sekolahku. Pria berusia lima puluhan dengan kacamata aviator dan kemeja lengan panjang yang selalu digulung sampai siku. Tidak pernah berteriak. Tidak pernah menghukum dengan menulis di papan tulis atau berlari mengelilingi lapangan. Tapi ketika dia masuk kelas, semua orang diam—bukan karena takut, tapi karena... sesuatu yang lain. Sesuatu yang pada saat itu belum bisa kujelaskan.

Suatu hari, Kamis sore setelah pelajaran Matematika, terjadi tawuran antara kelas 11 IPA 1 dan 11 IPA 3. Masalah sepele: seseorang bilang sesuatu tentang pacar seseorang. Atau mungkin bukan pacar, hanya teman. Atau mungkin tidak ada yang tahu kenapa dimulai. Yang jelas, koridor lantai dua menjadi arena kekacauan. Meja terbalik. Kursi dilempar. Kepala sekolah berteriak lewat pengeras suara tapi tidak ada yang peduli.

Lalu Pak Harto datang.

Tidak berlari. Tidak berteriak. Hanya berjalan dengan langkah biasa—seperti dia sedang berjalan ke kantin untuk membeli kopi—dan berdiri di tengah koridor. Tepat di antara dua kelompok yang sedang saling dorong.

Seperti pohon yang tiba-tiba tumbuh di tengah jalan raya.

Yang terjadi setelahnya bukan seperti di film. Tidak ada adegan dramatis di mana semua orang langsung sadar dan berpelukan. Tapi perlahan, satu per satu, anak-anak itu mulai mundur. Bukan karena Pak Harto melakukan sesuatu. Justru karena dia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya berdiri di sana, dengan tangan di belakang punggung—seperti orang yang sedang menunggu bus—dan menatap mereka.

Tidak dengan tatapan menghakimi. Tidak dengan tatapan marah. Hanya... tatapan. Seperti dia sedang melihat sesuatu yang menarik di balik semua kekacauan itu. Atau mungkin dia tidak melihat apa-apa sama sekali.

Aku ingat detail kecil itu: cara dia mengatupkan jari-jarinya. Kelima ujung jari tangan kanan menyentuh kelima ujung jari tangan kiri, membentuk seperti menara kecil di depan dadanya. Telapak tangan tidak bersentuhan. Hanya ujung jari. Aku tidak tahu kenapa itu terlihat penting saat itu. Seperti gesture rahasia dari bahasa yang tidak kukenal.

Tawuran berhenti dalam tiga menit.

Pak Harto berbalik dan berjalan kembali ke ruang guru. Tidak ada kata-kata. Tidak ada nasihat. Tidak ada hukuman.

Malam itu, di kamar, aku bertanya pada diriku sendiri: Mengapa orang seperti dia tidak perlu berteriak?

Aku tidak menemukan jawabannya. Bahkan sekarang, lima belas tahun kemudian, aku masih tidak yakin aku mengerti.

Tapi aku ingat keheningan yang dia bawa. Keheningan yang lebih keras dari teriakan.

III. Interlude – Teori Lubang Hitam

Di suatu malam, tiga tahun lalu, aku membaca artikel tentang lubang hitam di sebuah majalah sains populer yang kubeli di stasiun kereta. Bukan karena aku tertarik pada astronomi. Hanya karena tidak ada yang lain untuk dibaca.

Artikel itu menjelaskan bahwa lubang hitam bukan sekadar benda dengan massa yang sangat besar. Ia adalah benda dengan kepadatan yang luar biasa. Begitu padat sampai ruang dan waktu di sekitarnya melengkung. Gravitasi yang ditimbulkannya menarik segala sesuatu—bahkan cahaya—tanpa perlu bergerak, tanpa perlu melakukan apa pun.

Aku berhenti membaca di halaman itu.

Mulai berpikir: mungkin kepemimpinan itu seperti lubang hitam. Bukan tentang seberapa besar ruang yang kamu isi. Bukan tentang seberapa keras kamu berteriak atau seberapa sering kamu muncul. Tapi tentang seberapa padat pusat gravitasi dalam dirimu. Orang tertarik bukan karena kamu berisik. Mereka tertarik karena ada sesuatu di dalam dirimu yang padat—sesuatu yang tidak bisa mereka lihat, tapi bisa mereka rasakan.

Seperti bagaimana Pak Harto berdiri di tengah tawuran tanpa kata-kata.

Seperti bagaimana ayahku dulu bisa membuat ruang tamu senyap hanya dengan duduk di kursi favoritnya.

Lalu aku menertawakan diriku sendiri. Duduk sendirian di kereta menuju Surabaya, membaca majalah murahan, mencoba mencari metafora kosmis untuk menjelaskan kenapa aku tidak pernah berani bicara di depan kelas saat kuliah. Kenapa setiap kali diminta presentasi, tanganku berkeringat dan suaraku gemetar seperti orang yang kedinginan.

Mungkin teori lubang hitamku hanyalah cara lain untuk berkata: Aku belum cukup padat. Aku masih terlalu berongga.

Tapi entah kenapa, aku menyimpan majalah itu. Sampai sekarang masih ada di rak bukuku, di antara novel-novel yang tidak pernah selesai kubaca.

IV. Fragment – Perempuan di Kereta

Kereta itu berangkat pukul delapan pagi dari Gambir. Aku duduk di bangku nomor 12D, menghadap jendela, berharap tidak ada yang duduk di sebelahku agar aku bisa merebahkan kepala dan tidur selama enam jam perjalanan.

Tapi seseorang duduk di seberangku. Perempuan, mungkin dua puluh delapan atau tiga puluh tahun, dengan rambut dikuncir rendah dan jaket denim yang sedikit kebesaran. Dia membawa buku—sampul biru dengan judul yang tidak bisa kubaca dari sudut pandangku. Dia membuka buku itu di halaman entah-berapa dan mulai membaca tanpa menyapaku, tanpa kontak mata, seolah aku tidak ada.

Aku mengamatinya—bukan dengan cara yang aneh, hanya dengan cara seseorang mengamati penumpang lain di kereta saat tidak ada yang lain untuk dilakukan.

Ada sesuatu dalam cara dia memegang buku itu. Ibu jarinya di bagian luar sampul, bukan di bagian dalam seperti kebanyakan orang. Detail kecil yang tidak seharusnya menarik perhatian, tapi entah kenapa aku terus memperhatikannya. Seperti menonton seseorang menulis dengan tangan kiri padahal dunia dirancang untuk orang yang menulis dengan tangan kanan.

Kereta melewati sawah-sawah di pinggiran kota. Cahaya pagi masuk lewat jendela, menyinari wajahnya dari samping. Dia tidak berkedip sesering orang biasa. Atau mungkin aku yang terlalu memperhatikan.

Kami tidak pernah berbicara. Tidak ada percakapan tentang cuaca atau tujuan perjalanan. Tidak ada yang bertanya, "Buku bagus?" atau "Pergi ke mana?" Tapi aku merasa... dilihat. Bukan secara harfiah—dia tidak pernah menatapku—tapi ada sesuatu dalam kehadirannya yang membuat aku sadar bahwa aku ada di ruang yang sama dengannya.

Dia turun di stasiun yang namanya tidak pernah kudengar sebelumnya. Purwokerto atau Kroya atau entah apa. Mengambil tasnya, menutup bukunya—aku sempat melihat judulnya sekarang: The Hour of the Star, Clarice Lispector—dan berjalan keluar tanpa menoleh.

Kereta berjalan lagi. Bangku di seberangku kosong.

Tapi aku masih bisa merasakan sesuatu di sana. Seperti asap rokok yang masih mengambang setelah rokoknya dimatikan. Seperti kehangatan kursi setelah seseorang berdiri.

Kehadiran bukan tentang dikenali. Kehadiran adalah tentang meninggalkan jejak di ruang, bahkan setelah kamu pergi.

Bertahun-tahun kemudian, aku kadang bertanya-tanya: apakah dia benar-benar membaca buku itu? Atau dia hanya menatap halaman yang sama selama empat puluh menit, sama seperti aku yang pura-pura tidur tapi sebenarnya hanya memejamkan mata?

Aku tidak akan pernah tahu.

Dan mungkin itu yang membuatnya penting.

V. Fragment – Ayah dan Dasi

Aku berusia delapan tahun ketika pertama kali menyadari bahwa ayahku melakukan ritual yang sama setiap pagi.

Pukul lima tiga puluh, dia bangun. Shalat subuh. Lalu pergi ke kamar mandi. Aku bisa mendengar suara air mengalir dari keran wastafel—aliran yang stabil, tidak terburu-buru. Lalu suara pisau cukur yang diketuk-ketukkan ke tepi wastafel untuk membersihkan busa. Lalu diam.

Yang menarik perhatianku adalah setelah itu: ritual mengikat dasi.

Ayahku selalu memakai dasi untuk bekerja. Bukan karena kantornya mewajibkan—dia bekerja di perusahaan konstruksi kecil di mana kebanyakan orang memakai kemeja lengan pendek tanpa dasi—tapi karena dia memilih untuk memakainya. Dan dia selalu mengikatnya dengan cara yang sama: Windsor knot. Simpul yang lebar, simetris, kokoh.

Suatu pagi, aku berdiri di ambang pintu kamar mandi, menonton dia melakukannya. Cahaya pagi masuk lewat jendela kecil, menyinari wajahnya dari samping. Tangannya bergerak dengan presisi—melipat, memutar, menarik—seperti seseorang yang sedang melakukan mantra.

"Ayah," aku bertanya dengan suara masih setengah tidur. "Kenapa harus pakai dasi?"

Dia tidak berhenti. Terus melipat ujung dasi yang lebih panjang di atas yang lebih pendek. Memasukkannya lewat lubang di leher. Menarik. Merapikan.

"Bukan harus," katanya tanpa menatapku, matanya fokus pada cermin. "Tapi ini mengingatkan aku siapa aku hari ini."

Aku tidak mengerti jawaban itu saat itu. Aku pikir dia hanya berbicara seperti orang dewasa yang selalu punya jawaban misterius untuk pertanyaan sederhana.

Tapi bertahun-tahun kemudian, ketika aku mulai bekerja dan setiap pagi harus memilih baju apa yang akan kupakai, aku mulai mengerti.

Pakaian bukan topeng. Pakaian adalah mantra. Kamu tidak berdandan untuk orang lain. Kamu berdandan untuk mengingatkan dirimu sendiri bahwa hari ini kamu memilih untuk hadir.

Ayahku meninggal enam tahun lalu. Serangan jantung di kantor, siang hari, tanpa peringatan. Ketika aku datang ke rumah sakit, dia sudah dipindahkan ke kamar jenazah. Aku melihatnya di sana, berbaring dengan mata tertutup, memakai kaos oblong putih polos dan celana training hitam—pakaian yang tidak pernah kulihat dia pakai di luar rumah.

Tidak ada dasi.

Aku tidak tahu kenapa detail itu yang paling kuingat. Bukan wajahnya yang pucat. Bukan tangannya yang dingin. Tapi ketiadaan dasi di lehernya. Seperti ada sesuatu yang hilang. Seperti dia pergi sebelum sempat menyelesaikan ritualnya.

Sekarang, setiap pagi sebelum pergi ke mana pun, aku berdiri di depan cermin. Mengikat dasi dengan Windsor knot—meskipun aku tidak sebaik ayahku, simpulku tidak pernah simetris sempurna—dan membayangkan dia berdiri di sampingku, membetulkan ujung dasi yang miring, berkata dengan suara lembut: "Lebih rapat sedikit. Seperti ini."

Tapi dia tidak pernah ada di sana.

Dan dasinya tidak pernah sempurna.

VI. Collapse – Malam di Konferensi

Tiga tahun lalu, aku diminta untuk presentasi mendadak di sebuah konferensi kreatif di Jakarta. Pembicara utama—seorang penulis terkenal yang bukunya sudah diterjemahkan ke dua belas bahasa—sakit di hari H. Panitia panik. Mereka membutuhkan pengganti. Entah bagaimana, namaku muncul di daftar cadangan.

Aku bukan pembicara. Aku orang yang duduk di barisan belakang, mencatat, lalu pulang tanpa bicara dengan siapa pun.

Tapi aku bilang iya. Entah karena takut dibilang tidak profesional, atau karena ada bagian kecil di diriku yang ingin membuktikan sesuatu—pada siapa, aku tidak tahu.

Ruangannya besar. Dua ratus kursi, mungkin lebih. Lampu panggung begitu terang sampai aku tidak bisa melihat wajah orang-orang di barisan depan. Hanya siluet gelap yang duduk diam, menunggu.

Aku naik ke panggung dengan tangan berkeringat. Mikrofon di depanku terlihat seperti makhluk asing. Aku lupa apa yang akan kukatakan. Semua catatan yang sudah kususun sejak sore tadi menguap begitu saja.

Semua teori tentang kepercayaan diri, bahasa tubuh, kehadiran—semuanya menguap. Aku berdiri di sana seperti anak SMA yang lupa lirik lagu saat pentas seni. Pak Harto tidak pernah mengajari aku ini. Ayah tidak pernah memberitahu bagaimana rasanya berdiri sendirian di tengah pandangan empat ratus mata.

Aku mulai bicara. Suaraku gemetar di kalimat pertama. Aku mencoba membuat lelucon—sesuatu tentang bagaimana pembicara cadangan itu seperti ban serep yang tidak pernah diharapkan dipakai—tapi tidak ada yang tertawa. Hanya keheningan canggung yang terasa seperti ditampar.

Aku terus bicara. Dua puluh menit yang terasa seperti tiga jam. Tanganku bergerak tanpa arah. Aku lupa menatap mata audiens. Aku lupa semua tips tentang bagaimana terlihat percaya diri di panggung. Aku hanya... bicara. Seperti orang yang sedang tenggelam dan mencoba tetap mengapung dengan menggerakkan tangan sekuat tenaga.

Ketika selesai, tepuk tangan terdengar sopan. Bukan meriah. Bukan antusias. Hanya tepuk tangan yang kamu berikan karena kamu tidak tahu harus melakukan apa lagi.

Aku turun dari panggung dengan kaki lemas.

Di luar ruangan, seseorang menghampiriku. Laki-laki berusia empat puluhan dengan kacamata bulat dan notebook di tangan.

"Terima kasih," katanya. "Sudah jujur di atas panggung."

Aku menatapnya, bingung.

"Biasanya orang di sini terlalu pura-pura percaya diri," lanjutnya. "Tapi kamu... kamu terlihat seperti sedang berusaha keras. Dan itu lebih manusiawi."

Dia pergi sebelum aku sempat menjawab.

Aku berdiri di sana, di koridor yang sepi, merasakan sesuatu yang aneh di dada. Bukan kebanggaan. Bukan kelegaan. Tapi semacam... pengakuan. Bahwa mungkin menjadi "pemimpin" atau "orang yang memiliki kehadiran" bukan tentang tidak pernah gemetar. Mungkin tentang tetap berdiri meskipun kamu gemetar.

Atau mungkin aku hanya mencari alasan agar tidak merasa seperti orang gagal.

Aku tidak tahu. Dan sampai sekarang, aku masih tidak yakin.

VII. Fragment – Tentang Mendengarkan

Dua tahun lalu, aku datang ke pemakaman seorang teman masa kuliah. Kami tidak terlalu dekat—hanya teman sekelas yang kadang duduk berdampingan saat kuliah Filsafat—tapi ketika aku mendengar dia meninggal, ada sesuatu yang memaksaku untuk datang.

Pemakaman berlangsung di sore hari. Udaranya panas dan lengket. Orang-orang berdiri di sekitar makam, berbicara dengan suara pelan tentang almarhum. Tentang betapa baiknya dia. Betapa dia selalu mendengarkan ketika orang lain bicara. Betapa dia tidak pernah memotong pembicaraan.

Aku berdiri di belakang, mendengarkan mereka, dan tiba-tiba ingat sesuatu.

Suatu hari di semester lima, dia duduk di sebelahku di kantin kampus. Aku sedang sibuk dengan ponsel—mungkin scrolling media sosial atau membaca artikel yang sebenarnya tidak penting. Dia bicara tentang sesuatu. Aku tidak ingat apa. Mungkin tentang skripsinya. Atau tentang orang tuanya. Atau tentang bagaimana dia merasa tersesat dan tidak tahu harus kuliah atau tidak.

Aku mengangguk-angguk. Bilang "hmm" sesekali. Tapi mataku tidak pernah lepas dari layar ponsel.

Dia berhenti bicara di tengah kalimat. Diam sejenak. Lalu bilang, "Ya sudah, nggak penting kok."

Aku bahkan tidak ingat apakah aku merespons atau tidak.

Di pemakaman itu, berdiri di bawah terik matahari sore, aku menyadari sesuatu yang terlambat:

Mendengarkan bukan skill. Mendengarkan adalah bentuk cinta. Dan aku baru mengerti ini ketika sudah tidak ada yang bisa kudengarkan lagi.

Aku tidak menangis di pemakaman itu. Aku hanya berdiri di sana, merasakan berat sesuatu yang tidak bisa kuubah. Penyesalan bukan seperti kesedihan. Penyesalan adalah kesadaran bahwa ada momen-momen di masa lalu yang seharusnya kamu tangani dengan lebih baik, tapi sekarang momen itu sudah lewat dan tidak akan pernah kembali.

Tidak ada penebusan untuk ini. Tidak ada cara untuk meminta maaf pada orang yang sudah tidak bisa mendengarmu lagi.

Hanya ada kesadaran bahwa lain kali—jika ada lain kali—kamu harus lebih hadir. Lebih sungguh-sungguh. Lebih ada.

Tapi aku tidak yakin aku sudah belajar.

Aku masih sering memeriksa ponsel saat orang bicara.

VIII. Coda – Kembali ke Kafe

Pukul dua pagi. Barista sudah membereskan semua gelas. Kursi-kursi sudah diangkat ke atas meja. Hanya kursi yang kududukin yang masih di lantai.

Pria tua yang tadi membaca koran sudah pergi. Tapi korannya masih di sana, terlipat rapi di meja.

Aku akhirnya bangkit. Berjalan ke meja itu. Mengambil koran.

15 Agustus 2003.

Hari aku lahir.

Aku tidak percaya kebetulan. Tapi aku juga tidak percaya takdir. Aku hanya percaya bahwa ada cerita-cerita yang kita bawa tanpa pernah tahu kenapa. Ada orang-orang yang kita ingat tanpa pernah benar-benar mengenal. Ada momen-momen yang terasa penting meskipun kita tidak bisa menjelaskan pentingnya apa.

Barista menghampiriku. "Mas, maaf, kami mau tutup."

Aku mengangguk. Menaruh koran kembali ke meja. Mengambil jaket. Berjalan keluar ke malam yang basah.

Hujan sudah reda. Trotoar licin memantulkan cahaya lampu jalan. Di aspal, ada jejak sepatu—entah punyaku atau punya orang yang baru saja lewat. Besok pagi jejak itu akan menghilang. Tapi malam ini, untuk beberapa jam, ada bukti bahwa seseorang pernah berdiri di sini.

Mungkin itu cukup.

Mungkin kehadiran bukan tentang meninggalkan jejak yang permanen. Mungkin ia hanya tentang hadir—sungguh-sungguh, sepenuhnya—di momen ini, sekarang, bahkan jika tidak ada yang melihat. Bahkan jika tidak ada yang mengingat.

Aku berjalan pulang lewat jalan yang biasa kulalui. Melewati toko-toko yang sudah tutup. Melewati halte bus yang kosong. Melewati pohon rindang yang daunnya basah dan menetes air hujan.

Tidak ada epifani besar. Tidak ada pencerahan. Hanya langkah demi langkah, menuju rumah, menuju esok hari yang akan datang mau aku siap atau tidak.

Dan mungkin itulah yang dimaksud dengan menjadi manusia yang utuh: terus berjalan, meskipun kamu tidak yakin ke mana. Terus hadir, meskipun kamu tidak yakin apa artinya hadir. Terus mencoba, meskipun kamu tahu kamu akan sering gagal.

Seperti Pak Harto yang berdiri di tengah tawuran tanpa kata-kata.

Seperti ayah yang mengikat dasi setiap pagi dengan ritual yang sama.

Seperti perempuan di kereta yang membaca buku tanpa peduli siapa yang melihat.

Seperti temanku yang mendengarkan meskipun tidak ada yang benar-benar mendengarkannya kembali.

Seperti aku yang masih mencoba memahami apa artinya punya kehadiran di dunia ini.

Aku belum tahu jawabannya.

Tapi aku masih di sini, berjalan pulang, membawa keheningan yang entah milikku atau milik malam.

Popular Posts