Featured post
- Get link
- X
- Other Apps
Ketoprak Mamang dan Bumbu yang Tak Pernah Berubah
Ketoprak Mamang dan Bumbu yang Tak Pernah Berubah
Hujan Sore di Ragunan
Hujan mulai turun sejak lewat jam empat. Rintiknya kecil, rapat, seperti ketukan jari pada kaca jendela tua. Dari teras rumah di Ragunan, aku melihat aspal menggelap perlahan, genangan muncul seperti cermin kecil yang menampung langit kusam. Daun jambu di halaman gemetar tiap kali angin datang. Udara membawa bau logam basah bercampur tanah—bau yang memanggil kenangan tanpa suara.
Suara Gerobak yang Familiar
Lalu suara itu datang:
Krek... krek...
Bunyi roda gerobak kayu menabrak batu di jalan gang. Tanpa perlu melihat, aku tahu.
Mamang.
Gerobaknya masih merah kusam, sedikit cat mengelupas di sisi kanan. Plastik penutup digulung rapi. Lampu kecil menyala redup di atas tudung saji. Mamang tak berubah banyak sejak pertama kali kutemui di bangku SMP—tubuhnya kurus, kulitnya legam, dan jalannya selalu pelan tapi pasti. Yang berbeda hanya sedikit lengkung di punggung, seperti beban waktu yang pelan-pelan ia bawa.
"Ada, Mang?" tanyaku dari teras.
Ia mengangguk. Tak ada kata. Senyumnya tipis, hanya satu sisi bibir yang terangkat. Gerak tubuhnya tenang, seperti orang yang tahu persis apa yang ia lakukan dan kenapa.
Ritual yang Tak Pernah Berubah
Tudung saji dibuka. Ketupat, tahu, bihun, toge, dan... Panci alumunium berisi kacang tanah. Tangannya mengambil kacang itu dan memasukkannya ke dalam cobek batu besar, lalu mulai menumbuk.
Duk... duk... duk...
Suara tumbukan bergema di bawah hujan. Bukan suara keras, tapi ritmis dan dalam—seperti detak hati sore itu.
Rahasia Kacang Sangrai
Aku tahu kacang itu tak digoreng sembarangan. Pernah, saat SMA, aku tanya rahasianya. Ia hanya menjawab pelan, tanpa menoleh:
"Jangan lihat warna. Tunggu sampai baunya keluar."
Saat itu aku tak paham. Tapi kini, setiap suapan jadi penjelasannya sendiri.
Kacangnya digoreng nyaris terlalu lama. Bagian luarnya menghitam sedikit, tapi tidak gosong. Hanya cukup untuk meninggalkan rasa sangrai yang tajam—gurih yang diakhiri pahit tipis di ujung lidah. Rasa itu seperti parutan arang, samar dan tak bisa ditiru. Justru di situ letak dalamnya: ada kedalaman rasa yang hanya bisa muncul dari kesabaran.
Cobek dan Tangan
Ia tak pernah pakai blender. Cobek dan tangan jadi satu-satunya alat. Maka teksturnya tak pernah halus. Masih ada serpih-serpih kacang yang menyelip di sela gigi dan langit-langit mulut. Dan itu bukan kesalahan. Itu napas.
Bumbu lain ditambahkan satu-satu, tanpa takaran: bawang putih mentah, garam, sedikit gula jawa, dan kecap manis. Ia aduk semua langsung di cobek yang sama, tak pernah memindahkan. Segalanya menyatu di sana, bukan hanya rasa—tapi waktu, kebiasaan, dan diam.
Menyajikan dengan Penghormatan
Tahu hangat dipotong rapi. Ketupat kenyal, bersih. Bihun lembut, toge segar masih terasa geli karena hanya disiram sebentar. Lalu kerupuk—merah muda, bergetar kecil terkena uap, diletakkan paling atas seperti semacam penghormatan.
Suapan Pertama
Saat suapan pertama masuk, tak ada kata. Bahkan suara hujan pun seolah berhenti sebentar.
Rasa pertama: lembut, gurih, lalu pahit tipis datang diam-diam. Kecap tak mengambil alih, hanya menjembatani. Bihun menjadi pengimbang. Toge seperti letupan kecil yang segar. Ketupat menahan semuanya tetap tenang. Dan kerupuk—retak kecilnya pecah seperti denting waktu.
Kejujuran yang Ditumbuk
Aku pernah mencicipi ketoprak di restoran hotel. Mahal, bersih, bumbunya licin dan manis, terlalu manis. Tapi rasanya seperti orang asing yang berpura-pura akrab.
Sementara Mamang menyajikan kejujuran yang ditumbuk perlahan.
Bukan untuk disanjung. Tapi untuk diingat.
Bayangan yang Menghilang
Ia selesai beres-beres. Mengangguk lagi. Lalu mendorong gerobaknya pelan-pelan, menyatu dalam kabut dan hujan.
Aku mengunyah suapan terakhir perlahan, sambil memperhatikan bayangan tubuhnya mengecil, hilang di balik tikungan. Genangan di jalan memantulkan lampu rumah seperti api kecil yang jauh.
Rasa yang Tak Pernah Pergi
Tak ada nama yang kutahu. Tak pernah aku tanya. Tapi rasanya, sejak dulu, tak pernah pergi.
- Get link
- X
- Other Apps
Popular Posts
Fenomenologi Aroma dan Ontologi Ruang Liminal: Sebuah Pembacaan Filosofis
- Get link
- X
- Other Apps
