Skip to main content

Featured post

Pagi Ini, Kita Bangun Lagi

Absurditas Jendela Kaca: Sebuah Narasi Kolektif tentang Isolasi di Era Transparansi

Absurditas Jendela Kaca: Sebuah Narasi Kolektif tentang Isolasi di Era Transparansi
Absurditas Jendela Kaca: Sebuah Narasi Kolektif tentang Isolasi di Era Transparansi

Absurditas Jendela Kaca: Sebuah Narasi Kolektif tentang Isolasi di Era Transparansi

Sebuah refleksi filosofis atas "Di Balik Jendela Kaca"


Prolog: Mitos Kaca Jendela

Ada satu pertanyaan filosofis yang serius: mengapa kita terus berdiri di balik jendela ketika pintu tidak pernah terkunci?

Albert Camus pernah menulis tentang Sisyphus yang mendorong batu ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya jatuh kembali, lalu mendorongnya lagi. Selamanya. Dalam absurditas itu, Camus menemukan heroisme. Kita adalah Sisyphus modern. Batu yang kita dorong adalah transparansi—terlihat namun tak pernah benar-benar dilihat.

Ini bukan cerita tentang satu orang. Ini cerita tentang jutaan orang yang berdiri di balik jendela kaca, menatap kehidupan orang lain, sambil menyembunyikan 99,99 persen dari kehidupan mereka sendiri.

"Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak untuk menjadi dirinya sendiri."
— Albert Camus, The Myth of Sisyphus


Bagian I: Kesadaran akan Isolasi

Pukul Dua Pagi

Perempuan itu—sebut saja Raya, atau Siti, atau Dewi, atau kamu—mematikan ponsel. Refleksi wajahnya muncul sekilas lalu hilang. Seperti semua hal yang kita sebut "kehadiran" di era ini: sekilas, lalu hilang.

Pukul dua pagi adalah waktu yang jujur. Tidak ada yang berpura-pura di pukul dua pagi. Lampu-lampu padam. Filter Instagram tidak berfungsi pada cermin jiwa. Yang ada hanya layar ponsel seperti akuarium—wajah-wajah bahagia berenang dalam cahaya biru, terjebak dalam kotak-kotak kecil yang tak pernah cukup luas untuk menampung seluruh cerita.

Scroll. Like. Scroll.

Ini ritual modern. Ritual kesepian yang kita lakukan bersama-sama, sendirian. Kita scroll karena kesepian atau kesepian karena kita scroll? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab. Pertanyaan ini hanya perlu dirasakan.

Dari kamar sebelah, napas empat anak naik-turun seperti ombak kecil yang tak pernah mencapai pantai. Suara yang harusnya menenangkan. Tapi malam ini terasa seperti pengingat: Kamu tidak sendirian, tapi kenapa terasa begitu?

Jendela kamar menghadap ke rumah tetangga. Bahkan dalam gelap, ia tahu di balik kaca sana ada kehangatan yang tak pernah ia miliki. Atau mungkin tidak. Mungkin di sana juga ada seseorang yang berdiri di jendela mereka, menatap rumah Raya, membayangkan kehangatan yang tidak ada.

Semua jendela adalah cermin. Kita tidak melihat kehidupan orang lain. Kita melihat proyeksi dari apa yang kita inginkan.

Generasi Foto yang Hilang

Raya berusia tujuh tahun, berdiri di ambang pintu. Papa sedang memasang bingkai foto di dinding—keluarga baru dengan perempuan berambut keriting dan anak laki-laki yang giginya ompong.

"Foto Raya mana, Pa?"

Papa terdiam. Palu masih terangkat di udara. Waktu berhenti sebentar—cukup lama untuk seorang anak mengerti bahwa dirinya tidak masuk hitungan.

"Nanti Papa cariin yang bagus, ya."

Papa tidak pernah mencari. Foto itu tidak pernah ada.

Berapa banyak anak di negeri ini yang berdiri di ambang pintu, menunggu Papa mencari foto yang "bagus"? Papa tidak pernah mencari. Foto itu tidak pernah ada. Anak itu menjadi dewasa dengan kepastian: kehadirannya adalah kecelakaan yang dimaklumi, bukan keajaiban yang dirayakan.

Malam itu, melalui celah pintu kamarnya yang baru, ia mendengar tawa dari ruang makan. Suara itu mengalir seperti air hangat, tapi tak pernah sampai ke kamarnya yang dingin. Ia menutup mata, membayangkan dirinya duduk di meja itu, tertawa untuk lelucon yang sama.

Tapi ketika membuka mata, yang ada hanya dinding polos.

Tiga puluh tahun kemudian, ia masih ingat tekstur dinding polos itu. Masih bisa merasakan dinginnya, seolah tangannya baru saja menyentuhnya. Trauma tidak pernah past tense. Trauma adalah present continuous—sedang terjadi, terus-menerus, dalam setiap dinding polos yang ia lihat.

Dalam filosofi eksistensialisme Camus, kita menemukan konsep l'absurde—ketidaksesuaian antara pencarian manusia akan makna dan keheningan dunia yang tidak memberikan jawaban. Anak yang tidak masuk foto adalah manifestasi paling telanjang dari absurditas ini: dicintai oleh orang yang tidak bisa membuktikan cintanya.


Bagian II: Pemberontakan yang Sunyi

Hotel-hotel Murah

Hotel murah di pinggir kota. Sprei bergaris biru-putih yang sudah kusam. Ini bisa hotel di Tangerang, bisa di Surabaya, bisa di mana saja. Semua hotel murah di negeri ini punya sprei yang sama—seperti semua wanita yang mencari cinta di tempat yang salah punya cerita yang sama. Hanya detailnya yang berbeda. Tapi detail tidak mengubah esensi.

"Kamu cantik banget, tau."

Raya tersenyum. Kalimat yang sama dari mulut yang berbeda-beda. Variasi tanpa variasi. Seperti lagu yang diputar ulang dengan penyanyi berbeda—melodi tetap sama, yang berubah hanya timbre suara.

"Tapi kamu tahu kan, gue lagi nggak siap yang serius-serius..."

Tentu. Selalu tidak siap. Siap untuk merayu, tidak siap untuk tinggal. Ini adalah pola yang dapat diprediksi seperti matahari terbit. Dan seperti Sisyphus yang tahu batunya akan jatuh kembali, Raya tahu pria ini akan pergi. Tapi ia tetap datang. Ini adalah pemberontakannya yang sunyi—terus mencari meski tahu akan menemukan yang sama.

Setelah pria itu pergi, Raya duduk di tepi ranjang, menatap jendela kamar yang tertutup tirai. Di balik tirai itu ada dunia yang bergerak—orang-orang pulang ke rumah mereka yang sesungguhnya, ke pelukan yang menunggu, ke meja makan yang sudah disiapkan.

Ia menarik tirai sedikit. Lampu-lampu kota berkelip seperti mata yang mengantuk. Semuanya tampak begitu jauh, seolah ia mengintip kehidupan orang lain dari balik kaca tebal yang tak bisa dipecahkan.

Bertahun-tahun kemudian, setiap kali melihat hotel, ia masih ingat bau pembersih lantai yang menyengat dan suara langkah kaki di koridor yang bergema seperti countdown—menuju kepergian yang pasti.

Hotel adalah non-place. Tidak ada yang pulang ke hotel. Hotel adalah tempat transit antara satu kehidupan dengan kehidupan lain. Dan Raya—seperti jutaan perempuan lain—menjadi transit dalam kehidupan pria-pria yang lewat.

0,01 Persen

Sore ini, di taman bermain, ia duduk di bangku sambil mengawasi anak-anaknya. Si kembar berlarian mengejar gelembung sabun yang pecah sebelum tertangkap. Aisyah mendorong adiknya di ayunan dengan sabar.

Ponsel bergetar. Ia mengambil foto. Sudut yang tepat. Cahaya sore yang bagus. Filter yang lembut. Caption: "Alhamdulillah, berkah yang tiada tara. #blessed #gratitude"

Post.

Dalam lima menit, tiga belas likes. Dua komentar: "Masya Allah, keluarga bahagia!" dan "Mama goals banget!"

Ia tersenyum pada layar. Lalu mematikannya.

Yang tidak ia posting: tadi pagi ia menangis di kamar mandi sambil air shower mengalir, berharap suara air akan menyamarkan isak tangisnya agar anak-anak tidak dengar. Yang tidak ia posting: kemarin malam ia berdiri di jendela dapur pukul tiga pagi, menatap rumah tetangga yang gelap dan bertanya-tanya bagaimana rasanya tidak merasa asing di rumah sendiri.

Postinglah foto anak-anak tertawa. Jangan posting foto menangis di kamar mandi jam 3 pagi. Postinglah quote motivasi. Jangan posting bahwa quote itu tidak kamu rasakan.

Semua orang tahu aturannya. Semua orang bermain game yang sama. Pertanyaannya bukan siapa yang menang, tapi mengapa kita terus bermain.

Ini yang disebut Camus sebagai the absurd: kita tahu permainannya palsu, tapi kita terus bermain. Seperti Sisyphus yang tahu batunya akan jatuh, tapi terus mendorong. Perbedaannya: Sisyphus mendorong batu. Kita mendorong citra.

Menurut penelitian dari American Psychological Association, media sosial tidak membuat kita lebih terhubung—ia membuat kita lebih sadar akan keterputusan kita. Paradoks konektivitas: semakin terhubung secara digital, semakin terisolasi secara emosional.

0,01 persen kehidupan kita ditampilkan. 99,99 persen tersimpan di balik jendela kaca yang kita bangun sendiri—tembus pandang dari luar, tapi tak ada yang benar-benar melihat ke dalam.


Bagian III: Kejatuhan

Ruang USG

Ruang USG yang dingin. Gel lengket di perut. Layar hitam-putih yang berkedip. Dokter itu memeriksa dengan teliti. Terlalu teliti. Terlalu lama. Keheningan mulai terasa berat.

"Maaf, Bu. Jantungnya berhenti."

Raya menatap layar. Titik kecil yang harusnya berdetak seperti bintang yang mati. Tidak berkedip. Tidak bergerak. Hanya diam dalam kegelapan absolut.

"Yang kedua juga?"

Dokter mengangguk. Mata lelah yang sudah terlalu sering menyampaikan kabar buruk. Mata yang terlatih netral. "Maaf, Bu. Jantungnya berhenti." Kalimat yang sama yang diucapkan pada ribuan ibu sebelumnya.

Raya mengangguk. Sopan. Berterima kasih. Seperti sedang menerima paket, bukan menerima kabar bahwa dua anaknya telah mati di dalam perutnya. Ia berjalan keluar dengan langkah yang terlalu tegap untuk seorang ibu yang baru kehilangan dua anaknya sekaligus.

Di parkiran rumah sakit, dalam mobil yang panas, barulah ia roboh. Tangisnya memecah keheningan siang hari, keras dan putus asa, seperti suara kaca yang pecah.

Ini adalah the fall. Dalam novel Camus berjudul La Chute, protagonis jatuh bukan karena dosa besar, tapi karena akumulasi kebohongan kecil pada diri sendiri. Raya jatuh karena akhirnya menghadapi kebenaran paling telanjang: tidak semua yang hilang bisa ditemukan kembali. Tidak semua yang robek bisa dijahit.

Dua Malaikat yang Tidak Sempat Melihat Dunia

Malam ini, saat anak-anak tidur, ia membuka laci paling bawah. Dua foto USG dilipat rapi dalam amplop coklat. Kertas yang sudah menguning, tapi bayangan kecil di dalamnya masih jelas. Masih nyata. Masih ada, dalam pengertian paling paradoks dari kata itu.

Dua malaikat kecil yang tidak sempat melihat dunia. Dua nama yang sudah ia bisikkan dalam doa-doa malam. Dua kursi kosong di meja makan yang tak pernah akan terisi.

Ia meletakkan foto itu di jendela kamar, bersandar pada kaca. Seandainya kalian di sini, mungkin jendela ini tidak terasa seperti pembatas. Mungkin rumah ini benar-benar rumah.

Pertanyaan yang tidak bisa dijawab: apakah yang tidak pernah hidup bisa mati? Apakah yang tidak pernah ada bisa hilang?

Camus akan menjawab: absurditas tertinggi adalah mencintai yang tidak ada. Tapi bukankah semua cinta pada dasarnya seperti itu? Kita mencintai proyeksi, harapan, bayangan. Kita mencintai foto USG—dua titik kecil di layar hitam-putih—dan menyebutnya anak kita.

Dan ketika dua titik itu berhenti berkedip, kita tetap mencintai. Ini adalah pemberontakan. Ini adalah heroisme. Mencintai meskipun kehilangan. Mengingat meskipun sakit.


Bagian IV: Kejernihan Kesadaran

Nenek di Depan Minimarket

Pagi ini, seorang nenek terjatuh di depan minimarket. Raya menghentikan motornya, membantu nenek itu berdiri. Tangan keriput itu gemetar. Lutut yang menua. Belanjaan yang berserakan.

"Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali."

"Tidak apa-apa, Nek."

Nenek itu menatapnya lama. Terlalu lama. Seperti melihat sesuatu yang orang lain tidak lihat.

"Wajah kamu sedih, Nak. Kenapa?"

Raya terdiam. Sudah lama tidak ada yang bertanya tentang kesedihannya, bukan tentang kecantikannya. Sudah lama tidak ada yang melihat.

"Hidup kadang berat, Nek."

"Iya. Tapi kamu masih di sini. Masih bisa bantu orang lain. Itu sudah hebat."

Masih di sini.

Kalimat sederhana yang terasa seperti pencapaian terbesar. Sepanjang hari, kalimat itu bergema. Masih di sini. Masih bernafas. Masih bisa memberi, meski kosong.

Nenek itu mungkin tidak akan ingat perempuan yang membantunya hari ini. Tapi perempuan itu akan ingat nenek itu selamanya. Karena nenek itu melakukan hal yang tidak pernah dilakukan orang lain: bertanya tentang kesedihannya, bukan kecantikannya.

Recognition yang sesungguhnya bukan "kamu cantik." Recognition yang sesungguhnya adalah "kamu sedih."

Ini adalah lucidity dalam filosofi Camus—kejernihan kesadaran. Bukan tentang menjadi bahagia. Tapi tentang sadar bahwa kita masih ada, masih bisa merasakan, masih bisa memberontak.

Dalam esainya yang terkenal, Camus menulis: "In the midst of winter, I found there was, within me, an invincible summer." Nenek di depan minimarket adalah musim panas yang tak terkalahkan itu—momen kecil yang mengingatkan Raya bahwa kebaikan adalah pemberontakan terhadap absurditas.

Jahitan di Boneka

Raya kecil, umur lima tahun, menangis karena boneka kesayangannya robek. Mama duduk di sampingnya, mengambil benang dan jarum.

"Mama bisa jahit nggak?"

"Coba dulu. Kalau robek, bisa dijahit. Kalau hancur, bisa dibuat jadi yang baru."

Mama menjahit dengan teliti. Bekas jahitan masih terlihat, tapi boneka itu utuh kembali.

"Lihat. Kadang yang pernah robek malah jadi lebih kuat."

Sekarang, saat menjahit baju anak-anaknya yang sobek, ia ingat kata-kata Mama. Tangannya mengikuti gerakan yang sama—memasukkan benang, menarik perlahan, membuat jahitan sekecil mungkin.

Jahitan sebagai metafora penerimaan. Bekas luka yang visible sebagai kejujuran eksistensial. Tidak ada yang utuh sempurna—semua pernah robek. Yang membedakan adalah: apakah kita menjahit atau menyembunyikan?

Raya memilih menjahit. Tidak di balik kaca. Tidak tersembunyi. Tapi di depan anak-anaknya, dengan jahitan yang terlihat, dengan bekas yang jelas.

Mungkin ia juga seperti boneka itu. Pernah robek, dijahit kembali dengan benang yang kasat mata. Bekasnya masih ada, tapi ia masih utuh. Masih bisa dirangkul. Masih bisa menghangatkan.


Bagian V: Penerimaan yang Memberontak

Janji yang Bisa Ditepati

Tengah malam, ia bangun karena Aisyah demam. Saat mengompres dahi anaknya, Aisyah berbisik dalam setengah sadar:

"Mama jangan pergi, ya."

"Mama nggak akan pergi."

"Janji?"

"Janji."

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengucapkan janji yang ia tahu bisa ia tepati. Bukan karena mudah. Tapi karena ia yang memilih. Papa tidak memilih tinggal. Suaminya tidak memilih tinggal. Tapi ia—ia memilih.

Dan dalam pilihan itu, ada kebebasan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Camus menulis tentang kebebasan sejati: bukan bebas dari sesuatu, tapi bebas untuk sesuatu. Raya tidak bebas dari luka, dari trauma, dari kesedihan. Tapi ia bebas untuk memilih tinggal. Dan pilihan itu adalah pemberontakannya.

Sambil menunggu demam Aisyah turun, ia duduk di samping tempat tidur, menatap jendela kamar yang memantulkan bayangan mereka berdua. Ibu dan anak, saling menjaga dalam kegelapan.

Di refleksi jendela itu, untuk pertama kalinya, ia tidak melihat kaca sebagai pembatas. Tapi sebagai cermin—menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Seorang ibu. Seseorang yang dibutuhkan. Seseorang yang memilih untuk tinggal.

Sujud di Sajadah Tipis

Subuh. Sebelum adzan, ia sudah bangun. Kebiasaan lama—mencuri waktu sebelum dunia bangun, sebelum suara anak-anak mengisi rumah.

Ia berwudu, lalu sujud di sajadah yang sudah tipis. Di hadapan Yang Maha Melihat, tak ada jendela kaca yang perlu dipelihara. Tidak perlu filter. Tidak perlu 0,01 persen. Hanya kejujuran telanjang.

"Ya Allah, terima kasih karena aku masih di sini. Masih bisa merasakan sakit, berarti masih bisa merasakan. Masih bisa mencinta, meski caranya berbeda dari yang aku dulu bayangkan."

Air mata menetes, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Lebih seperti hujan yang membersihkan kaca jendela—membuat pandangan jadi lebih jernih.

Raya tidak meminta mukjizat. Ia hanya berterima kasih karena masih ada. Ini adalah doa yang paling absurd sekaligus paling masuk akal: gratitude untuk suffering, karena suffering adalah bukti kehidupan.

Batu yang harus didorong Sisyphus ke atas bukit adalah beban—tapi juga bukti bahwa Sisyphus masih ada, masih kuat, masih memberontak.

Adzan berkumandang. Suara yang sama yang ia dengar sejak kecil, di rumah-rumah yang berbeda, di masa-masa yang berbeda. Satu-satunya konstanta dalam hidupnya yang penuh perpindahan.

Dari kamar sebelah, suara anak terkecil memanggil: "Mama..."

Ia bangkit, melipat sajadah, dan berjalan menuju suara itu. Langkahnya tidak lagi terasa berat.


Bagian VI: Pulang ke Rumah

Cahaya Fajar di Jendela

Pagi ini, sambil menyiapkan sarapan, ia mendengar anak-anaknya tertawa di kamar. Suara yang murni, tanpa beban, tanpa perhitungan. Suara yang mengingatkannya bahwa cinta yang sesungguhnya memang seperti itu—datang tanpa syarat, tinggal tanpa janji yang muluk-muluk.

Melalui jendela dapur, ia melihat tetangga menyirami tanaman. Perempuan itu melambaikan tangan, tersenyum tulus. Raya membalas lambaian itu.

Gerakan sederhana. Tapi untuk pertama kalinya, jendela tidak terasa seperti kaca bulletproofbarrier yang melindungi sekaligus mengisolasi. Jendela hanya jendela. Ia bisa membukanya kapan saja.

Ia memilih untuk tidak.

Bukan karena takut. Tapi karena ia tidak lagi membutuhkannya. Jendela tidak lagi pembatas antara dunia "di sana" dan dunia "di sini". Jendela hanya kaca transparan yang menghubungkan dua ruang yang sama-sama nyata, sama-sama valid.

"Sayang Karena Ada"

Aisyah masuk ke dapur, memeluk pinggang Raya dari belakang.

"Mama, aku sayang Mama."

"Mama juga sayang Aisyah."

"Sayang kenapa?"

Raya berhenti mengaduk telur. Pertanyaan yang sederhana tapi dalam. Pertanyaan yang mengandung semua pertanyaan yang pernah ia tanyakan pada dirinya sendiri: Aku dicintai karena apa? Karena cantik? Karena berguna? Karena tidak merepotkan?

"Sayang karena Aisyah ada. Karena Aisyah milik Mama. Karena Mama milik Aisyah."

Bukan karena cantik. Bukan karena berguna. Hanya karena ada.

Di jendela dapur, refleksi mereka berdua terlihat jelas. Ibu dan anak, saling memiliki dalam cara yang tidak rumit. Tidak perlu dijaga di balik kaca. Cukup hidup, cukup nyata, cukup ada.

Matahari naik sepenuhnya. Hari yang baru dimulai.

Dan Raya, seperti Sisyphus yang kembali turun bukit untuk mendorong batunya lagi, masih di sini. Tidak bahagia dalam pengertian konvensional. Tidak sembuh dalam pengertian klinis.

Tapi—dan ini yang paling penting—tidak lagi bersembunyi.

"One must imagine Sisyphus happy."
— Albert Camus

One must imagine Raya happy.


Epilog: Catatan untuk Pembaca yang Berdiri di Balik Jendela

Cerita ini berakhir. Tapi jendela kaca yang kamu berdiri di belakangnya tidak.

Kamu masih membaca ini di layar ponsel atau komputer—jendela digital yang menghubungkan sekaligus memisahkan. Kamu masih punya foto-foto di media sosial yang menampilkan 0,01 persen. Kamu masih punya cerita yang tidak pernah kamu posting. Kamu masih punya luka yang dijahit dengan benang yang kasat mata.

Pertanyaannya bukan apakah kamu akan keluar dari balik kaca itu. Pertanyaannya adalah: apakah kamu menyadari kamu sedang berdiri di sana?

Kesadaran adalah langkah pertama. Sisanya? Sisanya adalah pilihan yang harus kamu buat setiap pagi.

Seperti Sisyphus. Seperti Raya. Seperti kita semua yang hidup di era jendela kaca ini.

Mendorong batu. Jatuh lagi. Mendorong lagi.

Camus menulis bahwa perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Bukan kemenangan. Bukan pencapaian. Tapi perjuangan. Pilihan untuk tetap mendorong meskipun tahu batunya akan jatuh.

Ini bukan cerita self-help. Ini bukan janji bahwa kamu akan sembuh sempurna atau bahagia selamanya. Ini adalah pengakuan bahwa:

  • Kamu akan tetap punya luka
  • Kamu akan tetap merasa asing di rumah sendiri kadang-kadang
  • Kamu akan tetap berdiri di jendela pukul dua pagi
  • Kamu akan tetap melihat kehidupan orang lain dan merasa iri

Tapi kamu juga akan:

  • Memilih untuk tinggal
  • Memilih untuk menjahit yang robek
  • Memilih untuk membuka tirai
  • Memilih untuk melambaikan tangan pada tetangga

Dan dalam pilihan-pilihan kecil itu, ada heroisme.

Tulisan asli "Di Balik Jendela Kaca" adalah cermin. Refleksi ini adalah undangan untuk tidak hanya melihat cermin itu, tapi melewatinya. Tidak dengan menghancurkan kaca—karena kaca tidak bisa dihancurkan tanpa melukai diri sendiri—tapi dengan memahami bahwa kaca itu tidak pernah terkunci.

Pintu selalu terbuka. Yang terkunci adalah kepercayaan kita bahwa kita layak untuk keluar.


Penutup: Absurditas yang Hidup

Dalam dunia yang terobsesi dengan happy endings, kita menawarkan sesuatu yang lebih jujur: honest middles. Karena hidup bukan cerita dengan akhir yang rapi. Hidup adalah rangkaian pertengahan—bangun, mendorong batu, tidur, bangun lagi.

Raya tidak "sembuh" di akhir cerita. Ia hanya berhenti bersembunyi. Dan itu sudah cukup heroik.

Kamu tidak perlu sembuh sempurna untuk layak dicintai. Kamu tidak perlu bahagia sepanjang waktu untuk hidup bermakna. Kamu hanya perlu ada—dengan jahitan yang terlihat, dengan bekas yang jelas, dengan jendela yang tidak lagi menjadi penjara.

"Dalam kedalaman musim dingin, akhirnya aku belajar bahwa di dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan."
— Albert Camus, Return to Tipasa

Musim panas itu bukan tentang tidak pernah merasa dingin. Tapi tentang tahu bahwa di dalam diri ada kehangatan yang tidak bisa dipadamkan oleh apapun—bukan oleh Papa yang pergi, bukan oleh suami yang meninggalkan, bukan oleh dua malaikat yang tidak sempat melihat dunia, bahkan bukan oleh jendela kaca yang kita bangun sendiri.

Absurditas itu jernih. Absurditas itu hidup.

L'absurde est lucide. L'absurde est vivant.

Dan kita—di balik atau di depan jendela kaca kita masing-masing—masih di sini. Masih mendorong. Masih memberontak. Masih hidup.

One must imagine us happy.


Referensi dan Bacaan Lanjutan


Tulisan ini adalah refleksi filosofis atas karya "Di Balik Jendela Kaca", ditulis dalam semangat eksistensialisme Albert Camus sebagai narasi kolektif tentang isolasi, trauma, dan heroisme di era modern.

Popular Posts